1/27/2016

Telah diwajibkan pada kita untuk menuntut ilmu, wa bil khusus ilmu agama. Hanya saja mungkin masih ada di antara kita yang tidak mengetahui keutamaanya (semoga tidak banyak). Di sini ijinkanlah saya yang masih jauh dari kata alim ini berbagi sedikit keutamaannya:

1. Dibuka jalan surga baginya
2. Diangkat derajatnya
3. Bukti cinta kepada Allah SWT
4. Mendapatkan pahala yang besar (dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pahalanya senilai dengan pahala haji)
5. Dosa-dosanya diampuni (seluruh penghuni bumi dan langit beristighfar untuk mereka yang menghadiri majelis ilmu)
6. Masih banyak lagi yang lainnya

Keutamaannya sungguh-sungguh besar bukan? Lantas mengapa kita (kita? ah mungkin hanya saya) masih saja malas untuk menuntut ilmu agama?

Ada sedikit ulasan menarik terkait pertanyaan di atas. Jawaban ini saya kutip dari Ust. Nurul Dzikri, Lc dalam sebuah majelis ilmu di Masjid Al Azhar.
Mengapa masih malas? Bisa jadi hal ini dikarenakan keutamaan-keutamaan yang didapat merupakan hal-hal yang ghaib, bukan hal yang konkret. Sedangkan saat ini orang-orang lebih cenderung menyukai hal-hal yang konkret ketimbang yang ghaib. Analaginya begini..

Ada 2 buah majelis ilmu, yang satu menawarkan beras 2 karung, cabe keriting 1 kg, gula pasir 1 kg, dan aneka macam sembako lainnya bagi mereka yang hadir sebelum ustadznya. Sedangkan majelis ilmu yang kedua menawarkan surga, mendapatkan pahala haji serta diangkat derajatnya bagi mereka yang hadir sebelum ustadznya. Kira-kira manakah dari kedua majelis ilmu tersebut yang lebih banyak peminatnya? Silahkan dijawab sendiri.

Lebih lanjut hal ini juga ada kaitannya dengan ciri-ciri orang bertaqwa. Jika kita menilik ciri-ciri orang bertaqwa dalam Alquran, hal pertama yang disebutkan adalah percaya terhadap hal-hal ghaib. Bukan mendirikan solat, menunaikan zakat, bukan pula berpuasa. Jadi jika kita masih juga belum tergerak oleh balasan-balasan yang bersifat ghaib dari Allah maka patutlah kita memeriksa hati kita. Barangkali ada noda hitam di sana.

Patutlah kita malu pada Imam Syafi’i yang yatim lagi miskin kala itu hanya bermodalkan telapak tangan, jari, serta ludahnya untuk membantunya mengingat setiap tetes ilmu yang disampaikan oleh gurunya, Imam Malik. Lah, emang bisa nulis pake ludah? Silahkan dijawab sendiri.
Patutlah pula kita malu pada para salafus shaleh yang rela menjual perabot rumah tangga hingga atap rumahnya demi menghadiri majelis ilmu.

Sedangkan kita? Silahkan tanya pada hati kita masing-masing…


NB: Maafkanlah kekurangan saya dalam menulis ulang ilmu yang saya dapat. Semoga kekurangan tersebut tidak mengurangi intisari dari ilmu yang coba saya sampaikan. Jika ada yang salah mohon dibenarkan. Jika ada yang kurang mohon dilengkapi.

Semoga bermanfaat.

Posted on 2:04:00 PM by Unknown

No comments

9/16/2015

Ini adalah kisah antara sepasang sandal dengan tuannya. Yang kusebut Aku di sini adalah seorang tuan pemilik sepasang sandal. Dan yang kusebut Dia di sini adalah sepasang sandal kepunyaan si tuan. Aku dan Dia saling membutuhkan satu sama lain. Aku membutuhkan Dia sebagai teman untuk meniti panas dinginnya jalanan, sedangkan Dia jauh lebih membutuhkan Aku ketimbang Aku membutuhkan Dia. Apalah arti Dia tanpa seorang Aku. Dia takkan pernah berarti keberadaannya di dunia ini tanpa adanya Aku.

Aku dan Dia selalu bersama, panas, dingin, landai, terjalnya jalanan telah mereka lalui bersama. Tak terhitung lagi berapa banyak tempat yang mereka kunjungi bersama. Puluhan? Ratusan? Sepertinya lebih. Bukan jumlah yang menjadi perhatian keduanya, tetapi kualitas dari setiap perjalanan lah yang menjadi perhatian keduanya.

Sebut saja kenangan. Dari setiap langkah yang terantuk batu, dari setiap langkah yang basah oleh hujan, dari setiap langkah yang berdebu, serta dari langkah-langkah yang lain. Itulah langkah-langkah yang membentuk kenangan.

Aku selalu berharap Dia dapat terus menemaninya. Tapi, itu hanya sebuah harapan. Pada akhirnya selalu ada lelah yang menanti di akhir sebuah perjalanan panjang. Ada tempat peristirahatan yang dirindukan di setiap keberangkatan. Untuk Aku dan untuk Dia.

Aku sadar bahwa masanya berbeda dengan Dia. Masa Aku lebih panjang dari pada Dia. Aku ditakdirkan untuk berganti dengan Dia-Dia yang lain di sepanjang perjalanan. Berbeda dengan Dia yang ditakdirkan hanya untuk seorang Aku, kecuali takdir berkehendak lain.

Cepat atau lambat, masa itu akan segera tiba. Masa ketika Dia tak lagi bisa membersamai Aku. Masa ketika Aku dan Dia berpisah untuk selang masa yang tidak diketahui, baik oleh Aku maupun Dia.

Yang namanya kenangan pasti akan kembali. Cepat atau lambat. Begitupun dengan kenangan Aku tentang Dia. Pada masanya nanti Dia akan kembali mendatangi Aku beserta kenangan yang telah mereka lalui bersama.

Dia dengan runtut dan pelan akan bercerita tentang setiap perjalanan yang mereka lalui bersama. Baik itu jalan yang lurus tak berujung maupun jalan yang berkelok membingungkan. Baik jalan yang ramai oleh hiruk pikuk kehidupan maupun jalan yang sunyi dan sepi. Semua akan Dia ceritakan.

Bisa jadi, Aku akan senang dengan semua kenangan yang Dia ceritakan, hingga Aku tak kuasa lagi untuk membendung senyumnya. Bisa jadi, Aku merasa tak ingin mendengar sedikitpun tentang setiap kenangan yang Dia ceritakan kembali, hingga Aku tak kuasa lagi menahan tangisnya.

Begitulah kisah antara sepasang sandal dan tuannya. Kisah antara Aku yang punya kuasa atas Dia, serta kisah tentang Dia yang setia menemani aku dengan penuh penerimaan.

Posted on 2:20:00 PM by Unknown

No comments

8/17/2015

Jakarta, Agustus 2015
Sore itu conversation class terasa lebih hidup dari pada biasanya. Tami yang memang paling fasih bahasa Inggrisnya terlihat antusias dengan topik pembicaraan yang diangkat oleh Mike.
Mike    : “I don’t believe it. Aku tidak percaya jika Amerika tidak tahu tentang rencana penyerangan Pearl Harbour. Dengan teknologi kami miliki saat itu Amerika pasti tahu jika Jepang hendak menyerang. Semua itu disengaja. Sama halnya dengan peristiwa 11 September.”
Tami    : “O iya? Apa yang membuatmu yakin Mike?”
Mike    : “You know? Aku lahir dan besar di Amerika. Aku telah berkali-kali mendiskusikan hal ini dengan teman-temanku di sana. Dan menurutku banyak sekali fakta sejarah tentang Amerika yang tidak kalian ketahui. Hm..Pada akhirnya siapa yang berkuasa dia yang menulis sejarah. Right?”
Tami    : “Absolutely right. Hal seperti itu juga terjadi di Indonesia. Banyak sekali fakta sejarah yang ditutupi demi kebaikan pemerintah yang berkuasa.”
Mike    : “Well, itu terjadi di belahan dunia manapun.”
Tami    : “By the way Mike, turut sertanya Amerika dalam perang dunia 2 aku kira patut disyukuri.”
Mike    : “Mengapa kamu bisa bicara seperti itu? Banyak warga Amerika yang mati konyol karena hal itu.”
Tami    : “Terlepas dari siapapun yang menang pada perang dunia 2. Bukankah dengan turut sertanya Amerika dalam perang dunia 2 membawa angin segar bahwa perang yang telah terjadi selama beberapa terakhir itu akan segera berakhir? Perbedaan kekuatan menjadi semakin keliatan Mike. Sekutu di atas angin.”
*bersambung*

Solo, Agustus 2015
Tak ada hari-hari yang lebih melelahkan bagi Adi selama hidupnya selain hari-hari yang saat ini ia jalani. Pagi-pagi berangkat ke laboratorium, dilanjutkan dengan konsultasi dengan dosen, dan kemudian masih harus mengurusi organisasi yang memang telah menjadi dunianya selama ini. Sore itu seperti hari-hari sebelumnya dia pulang ke kosan sebentar untuk kemudian berngkat menghadiri acara organisasi yang ia ikuti.
Deni    : “Di, tumben jam segini kamu udah pulang. Biasanya aja malam baru pulang. Numpang tidur doang di kosan.”
Andi    : “Habis ini pergi lagi kok. Tenang, aku gak akan mengganggumu dengan segala khalayanmu.”
Deni    : “Sial. Ini semua tentang seni Di. Tuntutan profesi.”
Andi    : “Iya, silahkan dilanjutkan saja senimu itu. Cuma inget jangan disalahgunakan ya?”
Deni    : “Disalahgunakan gimana Di?”
Andi    : “Kamu kira aku ga tau tentang hubungan kamu dengan Ratna? Tentang tumpukan kertas di tong sampah yang berisi puisi untuknya? Tentang diorama-diorama yang kamu buat untuknya? Sudahlah Den, nikahi saja si Ratna. Jangan cuma kamu kasih janji-janji manis. Kasih dia janji suci. Itu yang bener Den.”
Deni    : (mukanya mulai memerah) “Eh, kamu tau dari mana? Kamu kira nikah gampang apa?
Andi    : “Ada deh. (Sambil berlari kecil keluar dan mulai menaiki sepeda motro) Gampang kok, tinggal kamu mau berusaha apa enggak? Udah ya, aku berangkat dulu. Assalamualaikum.”
Deni    : “Eee...malah kabur. Waalaikumsalam.”

Desa Mekarsari, Agustus 2015
Kayuhan yang keseribu sekian telah mengantarkan Pak Karyo dengan sepeda onthelnya sampai ke rumah sebelum petang menjelang. Istrinya telah menyambutnya dengan segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang sangat disukainya.
Bu Karyo        : “Ini pak kopi dan pisang goreng kesukaan bapak. Mumpung masih panas, silahkan dimakan pak. Biar capeknya segera ilang.”
Pak Karyo       : “Suwun ya bu. Ibu ini emang istri bapak yang paling pengertian.”
Bu Karyo        : “Ah, bapak ini bisa aja. Lha wong istri bapak cuma ibu seorang, ya jelas lah ibu yang paling pengertian.”
Pak Karyo       : “Haha, bener kan apa yang bapak bilang.”
Bu Karyo        : “Bapak ini mah sukanya nggombalin ibu. Ngomong-ngomong pak, sawah kita gimana?”
Pak Karyo       : “Kan gara-gara bapak gombalin juga ibu jadi mau sama bapak. Haha. Alhamdulillah bu, insyaAllah tahun ini hasilnya akan lebih baik dari tahun sebelumnya. Ndonga wae bu marang Gusti sing menehi urip.”
Bu Karyo        : “Iyo pak. Ra pernah awak iki lali ndonga marang Gusti. Opo wae hasile mengko ibu bakal trimo pak. Berarti emang segitu jatah rejeki buat kita. lak yo ngono to pak?”
 Pak Karyo      : “Bener bu. Ah ibu ini, bener-bener istri bapak yang paliiiinnng pinter. Bapak jadi makin sayang sama ibu.”
Bu Karyo        : “Ih, bapak (sambil nyubit). Bentar ya pak, ibu ke dapur dulu. Nasinya kayaknya sudah matang tuh.”

Jakarta, Agustus 2015
Mike    : “Aku tidak sepenuhnya setuju dengan apa yang kamu katakan. Yang jelas tanpa Jepang menyerang Pearl Harbour pun Amerika tetap akan terlibat dalam Perang Dunia 2. Penyerangan Pearl Harbour hanya alasan penguat saja.”
Tami    : “Kamu sepertinya terlalu banyak mempelajari teori konspirasi Mike. Baiklah Mike, aku akan bercerita sedikit tentang negriku kala Perang Dunia 2 berkecamuk di Pasifik.”
Mike    : “Silahkan. Aku akan sangat senang mendengarnya.”
Tami    : “Kamu tahu Mike? Pasca peristiwa Pearl Harbour dan Amerika kemudian secara terbuka turut serta dalam Perang Dunia 2, Jepang mulai menderita kekalahan di Pasifik dan puncaknya adalah ketika Amerika dengan kejinya menjatuhkan bom nuklir ke Hiroshima dan Nagasaki. Tidak ada pilihan lain bagi Jepang selain menyerah tanpa syarat pada sekutu.”
Mike    : “Yeah, aku tahu itu. Sekolah kami mengajarkan hal itu semua”
Tami    : “Apakah kamu tahu Mike? Jepang waktu itu sedang menjajah bangsaku. Kekalahan Jepang merupakan angin segar bagi kami yang saat itu tengah memperjuangkan kemerdekaan kami. Kemerdekaan yang telah dirampas bangsa lain dari kami selama lebih dari 3 abad Mike. 3 abad!”
Mike    : “Oh my god. Itu waktu yang sangat lama. Bagaimana hal itu bisa terjadi?”
Tami    : “Banyak hal telah terjadi di masa lalu Mike. Yang jelas, selang beberapa hari setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu, kami bangsa Indonesia akhirnya mendapatkan kemerdekaan kami.”
Mike    : “Cerita yang sangat menarik Tam. Aku sangat ingin mendengar kelanjutannya, tapi sayang sekali aku sudah janji setelah ini. Jadi mari kita lanjutkan pembicaraan ini di lain kesempatan.”

Tami    : “Baiklah Mike, kapanpun kamu mau, aku dengan senang hati akan menceritkannya padamu.”

Posted on 12:43:00 PM by Unknown

No comments

5/20/2015

Sejak pertama kali membacanya, aku langsung jatuh cinta dengan syair ini. Sebagai salah satu orang yang telah bertahun-tahun menghabiskan hidup di tanah rantau, syair ini ibarat penyemangat sekaliagus penghibur saat di tanah rantau. Tak bisa dipungkiri bahwa kondisi di tanah rantau tak selamanya berjalan sesuai harapan. Tak bisa dipungkiri pula lambaian kampung halaman terkadang begitu sulit untuk tidak disambut. Dan dengan membaca syair ini membuatku kembali bersemangat untuk merantau.

Dan inilah syairnya, syair karya Imam Syafi'i:

Orang yang berakal dan berbudaya takkan tenang berdiam di satu tempat
Karena itu, tinggalkanlah kampung halaman dan mengembaralah!
Pergilah, niscaya kau akan menemukan ganti dari orang yang kau tinggalkan
Dan berusahalah karena kenikmatan hidup ada dalam usaha
Aku melihat genangan air dapat merusak air tersebut
Sekiranya air itu mengalir, niscaya ia menjadi baik, jika ia diam maka ia menjadi rusak
Seekor singa, jika tidak meninggalkan hutan, ia tidak akan menjadi buas
Anak panah, jika tidak meninggalkan busur, ia tidak akan mengenai sasarannya
Jika matahari selamanya tetap pada orbitnya
Niscaya orang Arab dan non-Arab akan bosan melihatnya
Emas itu seperti tanah jika dibiarkan di tempat aslinya
Dahan yang jatuh ke tanah hanya akan menjadi kayu bakar
Jika seseorang mengembara maka pencariannya akan mulia
Jika ia mengembara maka ia akan mulia seperti emas

Posted on 9:18:00 AM by Unknown

No comments

5/01/2015

Malam ini adalah malam terakhir Bulan April. Seperti tahun-tahun sebelumnya, stasiun televisi lokal maupun nasional mulai ramai menyiarkan tentang perayaan Hari Buruh yang jatuh pada esok hari, 1 Mei 2015. May day, begitulah nama kerennya. Hari di mana para buruh “merayakan” status mereka sebagai seorang buruh. Hari di mana buruh dari berbagai organisasi turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi mereka. Yang sebenarnya hampir selalu saja sama dari tahun ke tahun. Menuntut peningkatan taraf hidup! Baik itu melalu kenaikan upah minimum hingga pemberian jaminan kesehatan. Selalu saja sama, tak pernah jauh dari itu.
            Sekali lagi, malam ini adalah malam terakhir Bulan April. Seperti tahun-tahun sebelumnya, malam ini kami masih mencoba meluruskan punggung kami setelah seharian membungkuk di sawah, menanam padi. Sambil berdoa pada Tuhan semoga kami diberi kesehatan hingga masa tanam ini usai. Ya, masa tanam masih tersisa beberapa minggu, kami harap kami dapat mengais rizki selama masa itu. Karena setelah ini kami segera memasuki masa libur sebelum kembali ke sawah untuk melakukan tambal sulam terhadap padi yang kami tanam. Esok hari pun demikian, 1 Mei 2015. Kami masih harus ke sawah dan membungkukkan badan kami sambil berjalan mundur untuk menanam padi di sawah. Kami bukanlah petani, kami ini hanyalah buruh tani.
buruh tani
Menanam Padi
            Sayup-sayup terdengar berita di televisi yang menyebutkan bahwa esok hari ada sekitar 75 ribu yang akan turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka. Hm, sepertinya esok hari Jakarta akan menjadi lautan manusia, seperti tahun-tahun sebelumya. Sepertinya juga, semenjak pemerintah “berbaik hati” kepada buruh dengan menetapkan 1 Mei sebagi hari libur nasional sejak 2014 lalu jumlah buruh yang turun ke jalan semakin banyak. Ya, sepertinya...ingatan kami tak begitu bagus. Kami lebih fasih dalam mengingat umur padi yang kami tanam ataupun mengingat setiap langkah mundur yang kami lakukan saat membungkuk.

Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
            Jika esok hari para buruh di Jakarta mendongakkan kepala mereka sambil menyuarakan suara mereka yang tak jarang diiringi dengan makian, maka apadaya kami yang hanya buruh tani. Kami hanya bisa membungkuk di hadapan tuan tanah kami. Kami tak sedikitpun berani mengeluarkan makian saat membungkuk. Kami sedang menanam padi, menanam kebaikan. Kami percaya kami hanya bisa memanen padi yang baik jika dan hanya jika kami menanamnya dengan baik pula. Begitulah yang diajarkan oleh nenek moyang kami secara turun temurun. Kami lebih banyak diam selama membungkuk, sedikit bicara agar pekerjaan kami segera selesai. Siapa pula yang suka membungkuk berlama-lama. Apalagi kebanyakan dari kami sudah berumur.

Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
            Jika esok hari para buruh di Jakarta bisa dengan lantang berteriak minta kenaikan upah minimum, maka kami hanya bisa berbisik kepada sesama kami. Mengeluhkan upah kami yang sukar sekali naik, dari dulu segitu-gitu saja. Sekali lagi kami hanya bisa berbisik kepada sesama kami, mengeluhkan pengeluaran yang kini semakin tak menentu. BBM kini tak lagi disubsidi, harga bahan pokok pun naik turun seenak jidat. Jika boleh meminta kepada pemerintah, maka kami ingin minta satu hal, kepastian. Hidup kami sudah cukup tidak pasti dengan jumlah uang yang masuk jangan tambah ketidakpastian kami dengan jumlah uang yang keluar.

Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
            Jika esok hari para buruh di Jakarta menenteng spanduk minta jaminan kesehatan, maka kami hanya bisa menulis keinginan kami di atas air sawah yang keruh. Kami ingin sebuah jaminan akan nasib sawah yang kami sayangi. Kami memang tidak pernah memilikinya tapi pecayalah kami begitu mencintainya. Tak terhitung lagi berapa lama waktu yang kami habiskan bersamanya. Sawah bagi kami tak hanya sumber kehidupan tapi sudah seperti kekasih yang selalu ingin kami kunjungi. Kekasih yang selalu kami kunjungi dengan membungkuk.
            Kami sedih, melihat sawah-sawah kini banyak yang beralih fungsi menjadi bangunan tak bernyawa. Kami takut kami tak lagi bisa membungkuk. Kami takut kini kami harus mendongak seraya berdoa, ya Tuhan kami apakah Engkau hendak menutup pintu rizki kami? Sungguh, kami yakin bukanlah demikian. Kami yakin Engkau hanya akan membukakan kami pintu rizki yang lain bagi kami. Meski kami tidak tahu apa itu, tapi kami yakin. Pada akhirnya, kami hanyalah buruh tani.

Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
            Percayalah! Kami masih rela bangun di pagi hari dan bersaing dengan suara kokok ayam. Kami masih rela mengayuh sepeda puluhan kilometer menuju tempat kerja kami. Meski tak jarang dari kami yang sudah menggunakan sepeda motor tapi tak sedikitpun dari kami yang iri. Kami masih rela membungkuk dari pagi hingga siang sambil berjalan mundur kala musim tanam tiba. Kami masih rela melakukan hal yang sama, membungkuk lagi kala sudah saatnya padi yang kami tanam disulam. Kami masih rela membungkuk sekali lagi untuk mencabut rumput-rumput liar di sekitar padi yang kami tanam. Kami masih rela membungkuk untuk kesekian kalinya kala memotong padi yang sudah siap panem. Dan kami pun masih rela membungkuk untuk musim tanam berikutnya, lagi-lagi demi sesuap nasi.
buruh tani
Mengangkut Hasil Panen
             Pada akhirnya, kami hanyalah buruh tani. Bagi kami Mayday bukan berarti hari buruh. Mayday kami sama dengan mayday yang diteriakkan seorang pilot kala pesawat yang dikemudikannya hendak jatuh. Bagi kami Mayday berarti sebuah permintaan tolong. Ya, tolong lihat kami, si buruh tani.

Posted on 12:02:00 AM by Unknown

No comments

4/24/2015

Aku bukanlah orang yang suka mengoleksi novel. Bukan karena tidak suka hanya saja aku pikir jika hanya novel aku bisa pinjam ke temanku. Tapi tidak untuk novel yang satu ini, Burung-Burung Manyar namanya. Buah karya dari Y.B. Mangunwijaya. Bermula dari sebuah diskusi santai bersama temanku tentang buku, sampailah dia bercerita tentang novel Burung-Burung Manyar. Dia bercerita bahwa dia begitu ingin memiliki novel tersebut namun belum juga kesampaian. Aku pun penasaran, seperti apa novel Burung-Burung Manyar itu sampai ia begitu menginginkannya. Dari apa yang ia ceritakan, aku mulai tertarik dengan novel tersebut. Aku pun berkonsultasi dengan Mbah Google.
            Google....”burung-burung manyar”, search..
Y.B. Mangunwijaya
Burung-Burung Manyar
            Dari Mbah Google aku mendapatkan informasi bahwa novel tersebut telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, seperti Jepang (Arashi no Naka no Manyar), Inggris (The Weavebirds), dan Belanda (Het boek van Wevervogel). Keren bukan? Bisa dibilang novel ini merupakan sebuah mahakarya di masanya. Dan yang tak kalah menarik dari novel ini bagiku adalah, setting waktu yang diambil adalah pada masa kemerdekaan. Tak pelak hal ini semakin menambah keinginanku untuk membelinya.
            Ada sedikit kisah menarik saat aku mencari novel ini di sebuah toko buku. Aku yang mulai lelah mencari-cari keberadaan novel tersebut, mencoba peruntungan dengan bertanya pada seorang penjaga toko. Sebut saja “masnya”. Semoga masnya bisa memberi pencerahan padaku. Setelah kujelaskan keperluanku, masnya ber “oh” pertanda mengerti apa yang kucari. Ia pun menunjukkan isyarat agar aku mengikutinya. Eh...bukannya ditunjukkan novel Burung-Burung Manyar malah ditunjukkan deretan buku yang isinya cara merawat burung manyar. Di situ kadang saya merasa sedih. Duh mas, aku nyari novel bukan mau melihara burung. Tapi karena tidak ingin membuat masnya bersedih hati aku pun pura-pura memilah-milah buku tersebut sebelum akhirnya kabur ketika masnya pergi. Haha.
            Singkat cerita, aku akhirnya berhasil mendapatkan buku tersebut. Sebelum kubaca, aku sampuli terlebih dulu buku tersebut layaknya buku-bukuku yang lain. Biar awet bos. Haha. Aku buka lembar demi lembar novel tersebut, kubaca dengan seksama sambil membayangkan cerita yang disajikan novel tersebut. Aku begitu menikmati membaca novel tersebut hingga tak terasa aku telah merampungkan novel tersebut kurang dari 24 jam. Haha.

MANUSIAWI
            Itulah satu kata yang aku pilih apabila diminta untuk menggambarkan novel tersebut dengan satu kata. Lewat Burung-Burung Manyar kita diajak oleh Y.B Mangunwijaya untuk melihat sisi lain dari masa kemerdekaan. Dalam hal ini kita diajak untuk melihatnya dari sisi pribumi yang mengabdi pada Belanda. Seorang pribumi yang begitu membenci Jepang. Seorang pribumi yang anti republik. Pribumi tersebut bernama Setadewa, alias Teto. Seorang anak letnan KNIL (tentara kerajaan Belanda).
            Aku selalu membayangkan bahwa kemerdekaan adalah impian semua rakyat Indonesia kala itu. Aku selalu membayangkan bahwa keadaan pasti akan lebih baik setelah Indonesia merdeka. Tapi itu dulu. Seiring berjalannya waktu aku mulai sadar bahwa setiap perubahan, sebut aja revolusi pasti timbul yang namanya gejolak. Ada masa di mana kita merasa bahwa keadaan tak jua kunjung membaik meski telah terjadi revolusi. Bahkan mungkin bagi sebagian orang justru terasa semakin buruk. Terutama bagi rakyat kecil yang bisa jadi tidak begitu peduli dengan yang namanya kemerdekaan. Tak peduli siapa yang menjadi pemimpin mereka. Asal mereka bisa makan tiap hari saja itu sudah cukup.
Aku masih belum mampu membayangkan bagaimana jika aku hidup di masa kemerdekaan. Hidup di masa sebuah negara mencoba berdiri sendiri setelah ratusan tahun tertidur telungkup. Masa di mana sebuah negara sedang mencari pijakan dan jati diri. Pastilah berat. Lewat Burung-Burung Manyar ini, kita diajak untuk merasakan itu semua. Hidup di masa awal kemerdekaan dengan sudut pandang dari seseorang yang anti republik dan lebih memihak Belanda.
            Lantas, salahkah Teto yang lebih memilih memihak Belanda ketimbang republik? Begini, mari coba kita berandai-andai jika kita menjadi Teto. Lahir sebagai anak seorang letnan KNIL dan masih keturunan keraton. Bukankah Teto kecil terbiasa hidup nyaman dan bebas? Sebelum akhirnya Jepang datang dan membuat keluarganya terpisah. Ayahnya ditangkap tentara Jepang, sedangkan ibunya harus merelakan dirinya menjadi budak Jepang demi keselamatan ayahnya. Untuk alasan satu ini aku kira semua akan setuju jika Teto begitu membenci Jepang. Tapi kenapa ia masih saja memihak Belanda ketimbang membela republik saat kemerdekaan itu tiba? Silahkan temukan jawabannya sendiri ya...hehe
            Novel ini memang berlatar belakang zaman kemerdekaan. Tapi novel ini tidak hanya berbicara tentang heroisme perjuangan, novel ini juga bicara tentang roman. Bahkan di sampul bukunya sudah terpampang jelas, sebuah roman. Aku suka bagaimana cara Y.B. Mangunwijaya menggambarkan romantisme di novel ini. Tidak berlebihan dan terasa begitu manusiawi. Sebuah romantisme yang begitu jantan. Romantisme antara Teto yang anti republik dengan Atik yang pro republik.
            Overall, aku suka sekali dengan Burung-Burung Manyar. Novel ini begitu hidup. Aku suka alur ceritanya, aku suka setting ceritanya, aku suka penokohannya, aku suka bahasanya, aku suka Burung-Burung Manyar. Bacalah, dan nikmati sensasinya. Haha.

Posted on 2:35:00 PM by Unknown

No comments