Telah diwajibkan pada kita untuk menuntut ilmu, wa bil khusus ilmu agama. Hanya saja mungkin masih ada di antara kita yang tidak mengetahui keutamaanya (semoga tidak banyak). Di sini ijinkanlah saya yang masih jauh dari kata alim ini berbagi sedikit keutamaannya:

1. Dibuka jalan surga baginya
2. Diangkat derajatnya
3. Bukti cinta kepada Allah SWT
4. Mendapatkan pahala yang besar (dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pahalanya senilai dengan pahala haji)
5. Dosa-dosanya diampuni (seluruh penghuni bumi dan langit beristighfar untuk mereka yang menghadiri majelis ilmu)
6. Masih banyak lagi yang lainnya

Keutamaannya sungguh-sungguh besar bukan? Lantas mengapa kita (kita? ah mungkin hanya saya) masih saja malas untuk menuntut ilmu agama?

Ada sedikit ulasan menarik terkait pertanyaan di atas. Jawaban ini saya kutip dari Ust. Nurul Dzikri, Lc dalam sebuah majelis ilmu di Masjid Al Azhar.
Mengapa masih malas? Bisa jadi hal ini dikarenakan keutamaan-keutamaan yang didapat merupakan hal-hal yang ghaib, bukan hal yang konkret. Sedangkan saat ini orang-orang lebih cenderung menyukai hal-hal yang konkret ketimbang yang ghaib. Analaginya begini..

Ada 2 buah majelis ilmu, yang satu menawarkan beras 2 karung, cabe keriting 1 kg, gula pasir 1 kg, dan aneka macam sembako lainnya bagi mereka yang hadir sebelum ustadznya. Sedangkan majelis ilmu yang kedua menawarkan surga, mendapatkan pahala haji serta diangkat derajatnya bagi mereka yang hadir sebelum ustadznya. Kira-kira manakah dari kedua majelis ilmu tersebut yang lebih banyak peminatnya? Silahkan dijawab sendiri.

Lebih lanjut hal ini juga ada kaitannya dengan ciri-ciri orang bertaqwa. Jika kita menilik ciri-ciri orang bertaqwa dalam Alquran, hal pertama yang disebutkan adalah percaya terhadap hal-hal ghaib. Bukan mendirikan solat, menunaikan zakat, bukan pula berpuasa. Jadi jika kita masih juga belum tergerak oleh balasan-balasan yang bersifat ghaib dari Allah maka patutlah kita memeriksa hati kita. Barangkali ada noda hitam di sana.

Patutlah kita malu pada Imam Syafi’i yang yatim lagi miskin kala itu hanya bermodalkan telapak tangan, jari, serta ludahnya untuk membantunya mengingat setiap tetes ilmu yang disampaikan oleh gurunya, Imam Malik. Lah, emang bisa nulis pake ludah? Silahkan dijawab sendiri.
Patutlah pula kita malu pada para salafus shaleh yang rela menjual perabot rumah tangga hingga atap rumahnya demi menghadiri majelis ilmu.

Sedangkan kita? Silahkan tanya pada hati kita masing-masing…


NB: Maafkanlah kekurangan saya dalam menulis ulang ilmu yang saya dapat. Semoga kekurangan tersebut tidak mengurangi intisari dari ilmu yang coba saya sampaikan. Jika ada yang salah mohon dibenarkan. Jika ada yang kurang mohon dilengkapi.

Semoga bermanfaat.