Catatan Terakhir Acil |
Bukankah setiap pertemuan itu
menjanjikan perpisahan? Bukankah perpisahan adalah hak setiap pertemuan? Yang pasti
akan diminta, cepat atau lambat? Meskipun sudah pasti, kenapa tetap saja perpisahan
itu terasa menyedihkan. Seolah perpisahan itu jauh. Seolah perpisahan itu dapat
dihindari. Seolah perpisahan itu tak pernah ada. Atau jangan-jangan aku saja
yang tak pernah mengganggap bahwa perpisahan itu ada. Tak pernah menyiapkan
diri menghadapi perpisahan. Terlena dengan hegemoni pertemuan yang seolah tak
berujung.
Kini, perpisahan perlahan tapi pasti
mulai menghampiriku. Diam-diam mengintip dari balik pepohonan. Berusaha menyamarkan
baunya dengan bau angin. Seolah tak ingin membangunkanku dari hegemoni
pertemuan. Membiarkan diriku secara perlahan menyadari kehadirannya. Setiap
detik yang berlalu perpisahan semakin dekat dan semakin dekat. Aku tak tahu
kapan perpisahan itu akan tiba tepat di depanku dan menyapaku.
Aku belum bisa menerima kehadirannya. Aku
pun berusaha menjauh darinya. Namun semua itu terasa percuma. Setiap aku menjauh
selangkah, perpisahan mendekatiku dua langkah. Setiap aku berteriak padanya
agar Ia pergi, Ia hanya tersenyum padaku dan tak bergeming sedikitpun dari
tempatnya. Aku frustasi. Keadaan ini begitu menyiksaku. Aku kutuki Ia dengan
segala sumoah serapah yang ku tahu. Bahkan, pertemuan pun turut kujadikan
pelampiasan dari kekesalanku. Kenapa harus ada pertemuan jika pada akhirnya
harus ada perpisahan? Kenapa? jawab!!
Detik demi detik berlalu dan berganti
menit. Menit demi menit pun berlalu dan berganti dengan jam. Jam demi jam pun berlalu
dan berganti dengan hari. Keadaan ini tak kunjung membaik. Aku masih saja belum
bisa menerima kehadiran perpisahan. Hingga akhirnya perpisahan sudah ada di
depanku. Hanya berjarak sehasta dari tempatku berdiri. Menyadari bahwa aku tak
bisa menghindarinya, aku pun akhirnya meminta perpisahan berbaik hati padaku. Memintanya
berjalan pelan dan membiarkanku menulis catatan terakhirku untuk saudaraku
terkasih. Ternyata perpisahan tak seburuk yang aku kira. Ia mau berbaik hati
dan membiarkan diriku menuliskan catatan terakhirku sebelum akhirnya membawaku
pergi. Aku pun mulai menulis.
Teruntuk saudaraku terkasih,
Ahmad Saifudin
Wahai
saudaraku, masih ingatkah kamu saat pertama kali kita bertemu? Saat engkau
hanya bisa tertegun melihatku. Saat wajah polosmu itu bersitatap dengan aku
yang lusuh dan kumal ini. Ya, itulah aku yang dulu. Aku saat pertama kali kita
bertemu. Sebelum kamu banyak mengubahku.
Kau mungkin dulu berpikir, bisa-bisanya
ada orang yang bermuka mirip denganmu. Bahkan bisa dikatakan kita sama dalam
hal apapun. Selera kita sama, wajah kita sama, makanan kesukaan kita pun sama. Hanya
satu yang nampak berbeda antara aku dan kamu kala itu. Yaitu tampilan kita. Aku
yang waktu itu adalah aku yang lusuh dan kumal. Sedangkan kamu adalah kamu yang
tampil bak bangsawan dari negeri dongeng yang begitu mempesona.
Saudaraku, meski kita dari dunia yang
berbeda, Itu tak sedikitpun menghalangi kita untuk bersama. Tak terhitung lagi
berapa banyak langkah kaki yang kita ayunkan bersama. Tak terhitung lagi berapa
banyak kenangan yang terhimpun di kepala, baik suka maupun duka. Kita telah
lalui semua itu bersama. Hanya aku dan kamu.
Saudaraku, dari hari ke hari kita pun
kini makin mirip satu sama lain. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Aku bukan
lagi anak yang lusuh dan kumal dan kamu bukan lagi bangsawan dari negeri
dongeng. Kita telah bertemu di titik pertengahan, titik yang sama,yaitu kita. Kita
yang kini merupakan seorang petualang. Kita yang tak lagi terikat oleh latar
belakang masing-masing. Maka, hilanglah aku dan hilanglah kamu. Sebut saja
kita.
Saudaraku, ingin rasanya aku terus
bersamamu dan menjadi kita. Hanya saja perpisahan kini telah ada di depanku. Hanya
berjarak kurang dari sehasta dariku. Mau tidak mau, suka tidak suka Ia akan
membawaku meninggalkanmu, saudaraku.
Saudaraku, percayalah. Tak sekalipun aku
menyesali pertemuan kita. Aku bersyukur pernah bertemu denganmu. Kamu yang
begitu berarti bagiku. Kamu yang telah banyak mengubahku.
Saudaraku, waktuku tidak banyak lagi. Kini
perpisahan telah berada tepat di depanku. Aku kini seakan bisa meraskan
hembusan napasnya.
Saudaraku, jangan pernah tangisi
kepergianku. Tegarlah. Aku yakin akan ada yang bisa menggantikanku. Orang yang
akan setia menemai perjalananmu. Dan menggantikan peranku sebagai kita.
Saudaraku, aku harus segera pergi. Perpisahan
telah memegang tangan kiriku dan mengajakku pergi.
Saudarakau, selamat tinggal. Teruslah
berjalan. Teruslah berpetualang. Kejar terus cita-citamu. Meski setinggi
langit. Meski tak ada orang yang percaya bahwa kamu bisa. Percayalah, bahwa aku
akan selalu percaya padamu. Dan aku akan mendoakan yang terbaik bagimu.
Saudaramu yang terkasih,
Acil
Tak lama setelah aku menulis catatan
terakhirku. Perpisahan segera menarikku dan mengajakku berjalan bersamanya. Telah
kutaruh catatan terakhirku dengan baik sehingga saudaraku dengan mudah bisa
menemukannya. Aku pun pergi.
0 comments:
Post a Comment