2/18/2015

Setelah Perjalanan Suci (Part 1: Senin Pertama) dan Perjalanan Suci (Part 2: Selasa Luar Biasa), kini saatnya menapaki jejak langkah berikutnya, yaitu Perjalanan Suci (Part 3: Akhir yang Romantis). Inilah jejaknya...
taman cerdas mojosongo solo mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar saat Listrik Mati di TC Mojosongo

RABU, UNTUK YANG PERTAMA...
            Perjalanan suci pun berlanjut. Kususuri sebuah perkampungan dengan gang-gang yang terlihat sama. Layaknya sebuah maze yang siap menyesatkan siapapun yang masuk di dalamnya. Ku berjalan dengan penuh kehati-hatian berharap tiada pertanda yang terlewat.  Hingga akhirnya tibalah aku di sebuah tempat sumber keceriaan yang lain bernama TC Gambirsari.
            Terlihat olehku beberapa orang vols dan adik-adik yang sedang asyik bercengkrama satu dengan yang lainnya. Tanpa menunggu lama aku pun langsung bergabung dengan mereka. Turut bercengkrama bersama sambil menunggu kegiatan belajar mengajar dimulai.
            Detik demi detik terus berjalan. Kegiatan belajar mengajar sudah hampir dimulai namun baik vols maupun adik-adik yang datang malam itu tak sebanyak biasanya. Meski tak terucap, aku yakin setiap dari kami pasti berharap masih ada adik-adik maupun vols yang datang. Menunggu dan menunggu. Ah, ada yang datang! Mas Adit.
            Berjalan perlahan memasuki TC dengan kardus di tangan. Layaknya pemain teater yang muncul dari kegelapan dengan sorot lampu yang tak pernah sedetik pun menjauh darinya. Mendadak semua perhatian tertuju pada Mas Adit. Bukan karena orangnya tapi lebih dikarenakan kardus yang ia bawa. Adik-adik yang penasaran dengan isi kardus tersebut langsung menghampiri Mas Adit. Aku sendiri yang tak kalah penasaran tetap duduk manis di pendapa tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan mata ini dari kardus tersebut. Mencoba menerka-nerka isi di dalamnya.
Dekat, dekat, dan semakin dekat. Isi kardus pun mulai terlihat. Satu set angklung! Ya, angklung. Sebuah alat musik tradisional khas Jawa Barat yang sejak kecil sangat ingin aku mainkan dan kini ada di depanku. Ah, akhirnya…(batinku).
            Tak lama berselang kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Aku malam itu mendapatkan tugas kehormatan. Menjaga angklung tersebut dari jangkauan anak-anak yang sudah tidak sabar ingin segera memainkannya. Sungguh ini bukan tugas yang mudah karena aku sendiri juga tak sabar ingin segera memainkannya. Ingin rasanya segera mengeluarkan angklung tersebut dari dalam kardus dan memainkannya.
            Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malam itu waktu seolah berjalan lebih lambat. Kegiatan belajar mengajar tak kunjung usai sedangkan tangan ini semakin gatal ingin segera mengeluarkan angklung tersebut dari dalam kardus.
            Dan…kegiatan belajar mengajar pun usai, saatnya bermain angklung! Aku yang sudah tidak sabar ingin memainkannya dengan berat hati harus memberikan kesempatan terlebih dahulu pada adik-adik.  Satu set angklung yang terdiri dari delapan buah ini kini sudah dipegang oleh delapan orang anak yang beruntung. Dengan dibantu oleh kakak-kakak vols mereka mencoba memainkan lagu Suwe Ora Jamu sebaik mungkin. Ada yang terlihat masih gagu dalam memainkan angklung namun ada pula yang nampak sudah terbiasa memainkannya.
            Memang belum terdengar lantunan melodi yang indah dari permainan mereka. Akan tetapi satu yang pasti. Terdengar melodi keceriaan dari setiap gemericik angklung yang mereka mainkan. Ah, lagi-lagi ujung bibir ini, kanan kiri naik 1 centimeter secara simetris dengan sendirinya.
            Setelah dirasa cukup, kini giliran kami kakak-kakak vols yang memamerkan keahliannya dalam memainkan angklung. Aku yang sudah dari tadi tidak sabar menunggu giliran turut berpartisipasi. Aku memegang angklung bernada fa. Dan usai sudah penantian panjangku., Rabu malam itu Ahmad Saifudin, 21 tahun lebih sekian bulan, pertama kali memainkan angklung. Haha, selamat selamat.
Meski malam itu pertama kali kami bermain bersama, namun hasilnya cukup bagus. Lagu suwe Ora Jamu dan Gundul-Gundul pacul yang kami mainkan cukup bisa dinikmati. Sepertinya kami cukup berbakat memainkan angklung. Ah, sungguh Rabu malam yang indah, penuh irama.


KAMIS, AKHIR YANG ROMANTIS
Lagi dan lagi. Gerimis romantis kembali mengiringi perjalanan suciku. Ah, sungguh awal dan akhir yang sama. Setting cerita malam itu semakin romantis dengan adanya oglangan alias listrik mati. Jadilah aku seperti pahlawan bertopeng dengan kuda hitamnya yang sedang bergegas menyelamatkan seorang gadis dari gangguan orang jahat. Aku menembus gelapnya jalanan di tengah rintik-rintik hujan dengan sepeda motorku menuju sumber keceriaan berikutnya. TC Mojosongo…aku datang!
            Setibanya di sana, listrik belum juga nyala meski hujan telah reda. Jadilah saat ini kami, kakak-kakak vols dan adik-adik seperti sekumpulan nyamuk yang berkumpul di kegelapan. Tak terlihat namun terdengar suaranya.
            Lantas, bagaimana dengan kegiatan belajar mengajar?
Jangan pernah kutuki kegelapan, nyalakan lilin harapan. Kurang lebih begitulah kata-kata yang sering didengungkan di Solo Mengajar. Membuat cahaya! Ya, itu yang kami lakukan. Bukan dengan lilin, kami tak punya. Bukan juga dengan lampu emergency, kami tak membawanya. Tapi kami punya ini…
Sepeda motor. Kami letakkan sepeda motor kami mengelilingi lapangan basket dengan sorot lampu menghadap ke tengah lapangan. Membuat tengah lapangan seketika menjadi panggung pertunjukan meski dengan cahaya yang temaram. Di antara sorot lampu itulah kami malam itu melakukan kegiatan belajar mengajar. Jadilah kami sekarang seperti sekawanan teroris yang sedang dikepung oleh satu pleton densus 88. Kami seolah menjadi pusat perhatian malam itu. Bercahaya di tengah gelapnya malam.
taman cerdas mojosongo solo mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar saat Listrik Mati di TC Mojosongo
            Dinginnya udara tak mampu mengurangi kehangatan yang tercipta malam itu. Gelapnya malam bahkan tak sedikitpun mengurangi cerahnya senyum mereka malam itu. Semua tersenyum,  semua tertawa, semua bahagia. Sungguh malam yang romantis. Tak kalah romantis dengan pertemuan sepasang kekasih yang telah lama berpisah. Pertemuan ini, pertemuan antara guru dan murid yang saling merindu. Pertemuan yang terlalu sulit untuk dipisahkan oleh hujan dan gelap malam. Bagiku, itu sungguh romantis.

            Begitulah sekelumit cerita tentang perjalanan suciku. Ini bukanlah awal bukan pula akhir. Masih banyak cerita yang belum kubagikan, masih banyak cerita yang belum kualami. Cerita tentangku, tentang Solo Mengajar, tentang senyuman itu. Senyuman tulus mereka. Matahari kecil Indonesia. Sekali lagi, bahagia itu sungguh sederhana. Sesederhana ceritaku ini.

Posted on 1:27:00 PM by Unknown

No comments

2/12/2015


Setelah Perjalanan Suci (Part 1: Senin Pertama), kini saatnya menapaki jejak langkah dari Perjalanan Suci (Part 2: Selasa Luar Biasa). Inilah jejaknya..

taman cerdas sumber solo mengajar
Kartu Pintar
SELASA, SEMAKIN TERASA...
            Selasa sore, perjalanan suci ini kembali berlanjut. Kali ini giliran TC Sumber yang menjadi tujuanku. Satu yang selalu kuingat tentang TC Sumber adalah batu. Ya, batu. Begitu memasuki TC Sumber kita akan disambut dengan hamparan batu-batu hitam berbentuk bulat yang tersusun rapi di sepanjang jalan setapak. Sungguh anggun. Fungsinya sudah seperti red carpet ala Hollywood saja, menyambut setiap orang yang datang dengan kemewahannya. Itulah TC Sumber.
            Sore itu karena satu dan lain hal aku datang terlambat. Kegiatan belajar mengajar sudah dimulai begitu aku tiba di sana. Sebelum beranjak dari sepeda motor dan bergabung dengan vols yang ada, aku menyempatkan diri untuk sejenak mengamati keadaan di sana. Sekilas terlihat olehku sekelompok anak kelas 1 sampai 3 SD sedang bermain dengan kakak-kakak vols di taman, kemudian anak-anak yang lain sedang asyik belajar di pendapa. Samar-samar terdengar suara riuh rendah dari pendapa. Hal ini cukup menarik perhatianku,, ada apakah gerangan di sana?
            Dan….jreng jreng…jawabannya adalah….*hening sejenak
Kartu! Kulihat anak-anak sedang asyik bermain kartu. Iya…kartu. Eittzz…tapi bukan sembarang kartu. Kartu ini bernama kartu pintar. Kartu berukuran kecil, sekitar 4x6 cm dengan tulisan angka-angka yang berbeda di setiap lembarnya. Siapa sangka kartu sekecil ini dapat membuat suasana sore itu pecah, benar-benar pecah. Tak terasa ujung bibir ini mulai naik, kanan dan kiri satu centimeter secara simetris yang kemudian membentuk cekungan yang memberikan sebuah rasa tersendiri. Rasa yang tidak lain merupakan sebuah rasa bahagia melihat kelucuan dan antusiasme anak-anak memainkan kartu tersebut.
            Saat aku datang permainan kartu ini sudah hampir selesai. Di hadapanku tinggal tersisa dua orang anak yang sedang berusaha saling mengalahkan satu sama lain. Bagi keduanya seolah-olah ini adalah pertarungan hidup dan mati. Terlihat dari ekspresi mereka ketika akan memilih kartu yang akan mereka keluarkan. Seolah berharap bahwa itu merupakan angka keberuntungan mereka. Dan…suasana seketika pecah ketika keduanya mengeluarkan kartunya secara bersamaan.
56! 72! Seolah sedang terancam bahaya, mereka menggunakan seluruh sisa-sisa suara mereka untuk meneriakkan angka tersebut secepat mungkin. Angka yang mereka teriakkan tadi merupakan hasil perkalian dari dua angka yang terdapat pada kartu yang mereka keluarkan. Yang kalah cepat dalam menebak maka dia harus mengambil kartu temannya tersebut. Pemenangnya adalah dia yang paling cepat menghabiskan kartu yang ada di tangannya. Lucunya, terkadang dalam dua giliran keluar kartu yang sama namun mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menebak hasil perkaliannya bahkan sampai salah menebak. Hal ini sontak mengundang gelak tawa anak-anak lain dan kakak-kakak vols.
taman cerdas sumber solo mengajar
Serunya Kelas Berhitung Menggunakan Kartu Pintar
Ah, siapa sangka dengan kartu kecil tadi dapat menjadi media pembelajaran yang menyenangkan. Hal ini seolah mengingatkanku bahwa belajar dapat menggunakan media apa saja. Bahkan tak jarang hal itu merupakan sesuatu yang sering kita abaikan. Sekali lagi, inilah TC Sumber. Sumber keceriaan. Sumber kreativitas.

PERJALANAN PUN BERLANJUT...
                Masih di Selasa yang sama dengan cahaya yang berbeda. Kini cahaya matahari sudah digantikan oleh cahaya lampu. TC Gandekan yang merupakan rumah sendiri menjadi tujuan berikutnya. Kusebut rumah sendiri karena di sinilah aku ditempatkan selama lebih dari setahun ini sebagai vols Solo Mengajar. Satu kata yang menurutku paling menggambarkan TC Gandekan adalah merah. Bangunan yang memang didominasi warna merah ini seolah menyimpan energi lebih bagi siapapun yang memasukinya. Tak heran jika anak-anak di sini cukup atraktif.
            Bagiku tiada tempat yang lebih menyenangkan selain rumah sendiri. Begitu pula dengan TC Gandekan bila dibandingkan dengan TC lain. Meski  di sini aku harus menghadapi anak-anak yang super atraktif dengan segala tingkah laku mereka yang tak jarang membuatku mengelus dada. Namun sesuai dengan hukum Newton ketiga, aksi sama dengan reaksi, di sini aku mendapatkan modal yang sangat berharga untuk menghadapi mereka. Modal itu berupa volunteer super kece dengan “kegilaan” tingkat tingginya serta pengurus TC yang ternyata tak kalah “gilanya”. Ah, sungguh setimpal. Tuhan Maha Adil.
            Malam itu begitu aku datang, suara riuh rendah anak-anak langsung menyambutku. Beberapa orang anak terdengar memanggil-manggil namaku, “Mas Udin…”. Tak lama kemudian ada sekelompok anak kelas 1 dan 2 SD yang menghampiriku dan menggelayut manja sambil berusaha memegang jenggotku. Ya, jenggot. Jenggot yang kubiarkan tumbuh subur di daguku ini sejak dulu sudah menjadi magnet tersendiri bagi anak-anak, terutama kelas 1 dan 2 SD. Dan karena “akar nafas” alias jenggot inilah kemudian mereka memanggilku Mas Udin Jenggot yang kemudian disingkat Udje. Sebuah nama yang kemudian dipakai teman-teman vols Solo Mengajar untuk memanggilku. Semacam nama panggung gitu. Haha.
            Teeetttttt….teeeetttt….teeettttt. Bel telah berbunyi sebanyak tiga kali, kegiatan belajar mengajar sudah saatnya dimulai. Anak-anak pun mulai berlarian menuju ke kelasnya masing-masing. Kelas 1 dan 2 SD belajar di ruang perpustakaan, kelas 3 dan 4 SD belajar di ruang IT, sedangkan kelas 5 SD hingga SMP belajar di pendapa. Tak mau kalah dengan adik-adik, kami pun segera menempatkan diri sesuai dengan pembagian kelas yang telah disepakati sambil mengajak adik-adik yang masih asyik bermain. Aku sendiri malam itu mengajar murid langgananku, Dhea, dkk yang sekarang duduk di bangku kelas 6 SD.
            Selasa malam itu TC Gandekan lagi-lagi mengeluarkan magisnya dengan memberikan energi yang berlebih pada siapapun yang ada di dalamnya. Dengan energi yang berlebih ini kegiatan belajar mengajar menjadi lebih “meriah”. Beberapa anak yang kelebihan energi mencoba menggunakannya untuk berlarian dan mengusili teman-temannya yang sedang belajar. Hal ini membuat kami mau tidak mau harus menyerap energi yang diberikan oleh TC Gandekan sebanyak mungkin agar bisa mengimbangi mereka.
taman cerdas gandekan solo mengajar
Kelas 1 dan 2 Taman Cerdas Gandekan
            Ah, lagi-lagi teori relativitas Einstein bekerja di sini. Tak terasa kegiatan belajar telah berakhir dan segelas teh hangat telah menanti kami. Teh hangat yang selalu setia menemani obrolan kami pasca mengajar. Teh hangat yang di kemudian hari pasti akan sangat kurindukan. Bukan karena rasanya namun karena kebersamaan yang ditawarkan dalam setiap tegukannya.

            Malam itu kami seolah enggan untuk cepat-cepat meninggalkan TC Gandekan. Kami masih saja asyik mengobrol meskipun waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Sepertinya pantat ini terlanjur mengakar begitu dalam sehingga sulit sekali untuk diangkat. Namun, rumah ini bukanlah tujuan akhir dari perjalanan kami sehingga kami pun harus pergi melanjutkan perjalanan masing-masing. Sampai berjumpa lagi kawan. Di TC Gandekan, di rumah kami.

Jejak langkah berikutnya, Perjalanan Suci (Part 3: Akhir Sempurna)

Posted on 1:17:00 PM by Unknown

No comments

2/09/2015

Sungguh, bahagia itu sederhana. Sesederhana sungai yang mengalir dari hulu ke hilir. Sesederhana hujan yang turun di musim penghujan. Ya, sesederhana itu. Bagiku, bahagia pun sesederhana itu. Melihat orang lain tersenyum merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri bagiku, terutama senyum anak-anak. Senyum yang begitu tulus dan miskin akan kepura-puraan. Aku sendiri telah menemukan tempat dimana sumber kebahagian itu berada. Tempat itu bernama Taman Cerdas. Tempat dimana aku bisa menemukan sekumpulan anak dengan senyum tulusnya.
Singkat cerita, aku sering menyempatkan waktu barang sejenak di sela-sela kesibukanku sebagai mahasiswa tingkat akhir untuk berkunjung ke Taman-Taman Cerdas (TC) yang ada di Kota Solo. Enggak sibuk-sibuk banget sih…lebih tepatnya “pengacara”, pengangguran banyak acara. Haha. Namanya juga mahasiswa tingkat akhir. Hm…sebut saja mahasisa.
Dalam kesempatan ini aku ingin berbagi cerita tentang perjalanan “suciku” (suka citaku). Perjalanan ini aku lakukan selama 4 hari berturut-turut. Empat hari 5 Taman Cerdas, berlapis-lapis senyuman, segudang kebahagiaan.

Solo Mengajar
Perjalana Suci
SEMUA BERMULA DI HARI SENIN...
            Senin malam, gerimis romantis mengiringi perjalanan suciku ke Barat untuk mencari kitab suci. Eh, maksudku ke TC Pajang. Kusebut perjalanan ke Barat karena memang tempat ini berada di ujung Barat Kota Solo sedangkan domisiliku di ujung Timur Kota Solo.
            Pajang. Setiap kali mendengar nama tersebut pikiran ini selalu saja melayang jauh ke belakang. Jauh sebelum uang kertas bergambar monyet dan perahu layar digunakan. Jauh sebelum Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Hingga akhirnya sampailah ke masa kejayaan kerajaan-kerajaan nusantara di mana Kerajaan Pajang menjadi salah satu aktornya. Ah, kok jadi malah bicara tentang sejarah.
            Baik, kembali ke tahun 2014 di mana perjalanan suci ini terjadi. Malam itu aku menjadi vols pertama yang tiba di TC Pajang. Pintu perpustakaan yang biasa digunakan sebagai tempat pembelajaran masih terkunci rapat. Meskipun demikian di pendapa sudah banyak anak-anak yang asyik bermain atau sekedar bercanda dengan teman sebayanya. Sambil menunggu vols lain datang, aku sibuk mengamati tingkah polah mereka. Entah mengapa diri ini saat itu rasanya ingin mengamati saja apa yang mereka lakukan dari kejauhan. Melihat mereka berlari-lari, bersendau gurau, dan tentu saja tersenyum riang. Meski sempat ada insiden ada anak yang menangis tapi itu tetap tidak mengurangi keceriaan mereka. Ah, bahagianya.
            Tak terasa  vols lain mulai berdatangan dan pembelajaran segera dimulai. Hujan dan jarak TC Pajang yang cukup jauh turut memberi andil pada sedikitnya vols yang datang malam itu. Alhasil, aku yang berniat menjadi pengamat pun beralih profesi menjadi pengajar. Kini, di depanku sudah ada 4 orang anak kelas 5 SD yang siap kuracuni dengan rumus-rumus matematika. Haha. Tenang, pembelajaran berlangsung dengan menyenangkan kok.
            Memang benar kata Einstein dengan teori relativitasnya. Segala kebahagiaan yang membuncah jadi satu malam itu telah mereduksi waktu satu jam menjadi seolah hanya satu menit. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam dan kegiatan belajar mengajar harus diakhiri. Segelas teh hangat dan makanan ringan sudah menanti kami di ruang perpustakan. Terima kasih Bu Evi, penjaga perpustakaan TC Pajang yang selalu setia mendampingi kami bahkan menyediakan “logistik” bagi kami. Kami pun berbincang-bincang sejenak sambil menikmati hidangan yang telah disajikan sebelum beranjak pulang. Seperti halnya ketika aku datang, gerimis romantis kembali mengiringi kepulanganku malam itu.

Posted on 12:12:00 PM by Unknown

No comments