3/24/2015

solo mengajar
Bila menengok jauh ke belakang seolah tak ada malam yang lebih berkesan selain Rabu malam di Bulan Desember tahun 2012. Semua kisahku bersama Solo Mengajar berawal dari Rabu malam. Rabu malam itu kali pertama aku menginjakkan kaki di Taman Cerdas Mojosongo. Kali pertama pula aku mengenal Solo Mengajar.
Tentang mengajar. Mengajar memang bukan hal yang asing bagiku tapi Rabu malam itu menjadi kali pertama aku mengajar bersama teman-teman Solo Mengajar. Meskipun bukan yang pertama kali mengajar anak-anak, waktu itu timbul rasa was was jika saja aku melakukan kesalahan. Alhasil akupun masih kikuk dalam mengawali pembelajaran.
Aku yang malam itu “menyusup” di antara teman-teman Solo Mengajar mendapatkan hukuman turut serta mengajar. Sebagai terpidana, maka tak ada pilihan lain bagiku selain menjalani hukuman tersebut dengan legawa. Aku berjalan pelan mengikuti Mas Deka menuju ke ruang komputer. Di sana sudah ada sekumpulan anak kelas 5 SD yang terlihat masih asyik bermain. Melihat kedatangan kami mereka pun berhenti bermain dan duduk melingkar bersiap memulai kegiatan belajar mengajar. Oleh Mas Deka aku diberi tugas mengajar murid perempuan.
Kini di depan mataku sudah ada 5 siswi kelas 5 SD yang harus aku bimbing selama satu jam ke depan. Aku yang masih kikuk mencoba melirik kelompok sebelah yang dikomandoi oleh Mas Deka. Mengamati dengan seksama, memastikan tak ada yang terlewat untuk kemudian mencoba menirukan apa yang ia lakukan.
“Ooohh…”,ujarku dalam hati merasa sudah paham dengan apa yang dilakukan oleh Mas Deka. Aku pun mencoba mengawali kegiatan belajar mengajar dengan berdoa bersama. Setelah itu karena aku asing bagi mereka, sebagaimana juga mereka asing bagiku maka aku ajak mereka berkenalan. Aku coba memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian aku minta mereka memperkenalkan diri satu per satu.
Dari 5 orang siswi tersebut ada satu siswi yang cukup menarik perhatianku. Sebut saja dia Bunga. Begitulah teman-teman memanggilnya. Bunga bukanlah nama samaran yang biasa digunakan dalam berita kriminal di televisi tapi ini memang nama dia sesungguhnya. Sekilas dia memang nampak biasa kecuali pipi chubby dan potongan rambut khas tokoh animasi Dora The Explorer yang membuatnya kelihatan menonjol di antara teman-temannya yang lain. Tampilannya yang khas tersebut membuatku mudah mengingatnya bahkan hingga saat ini, padahal di sisi lain aku sudah lupa siapa saja 4 anak yang lainnya. Ehm, satu lagi yang kuingat darinya, suaranya yang cenderung ngebass membuatnya nampak lebih dewasa dari pada usianya.
Perkenalan berjalan dengan lancar. Mereka sempat tertawa saat aku memperkenalkan diri. Maklum, dengan nama Udin yang cukup terkenal kala itu membuat siapapun akan tertawa terutama anak-anak yang memang miskin akan kepura-puraan. Meskipun begitu ada hikmahnya juga memiliki nama yang terkenal yaitu mudah diingat. Hal ini terbukti saat aku mengajar untuk kedua kalinya mereka masih mengingat namaku dengan baik bahkan justru aku yang lupa dengan nama mereka. Jadi malu sendiri.
Setelah merasa kehadiranku dapat diterima dengan baik oleh mereka aku pun memulai pembelajaran malam itu. Kebetulan saat itu mata pelajaran yang diajarkan adalah bahasa Inggris. Materinya sendiri berkisar tentang berbagai jenis profesi seperti polisi, dokter, suster, tukang batu, penjahit, dan lain sebagainya. Meskipun aku malam ini mengajar tanpa persiapan, aku cukup yakin bahwa aku cukup menguasai materi tersebut.
Pembelajaran berjalan lancar hingga Bunga dengan rasa ingin tahunya melemparkan sebuah pertanyaan padaku. “Mas, bahasa Inggrisnya pramugari apa?”
Eee..apa ya? Duh, aku lupa bahasa Inggrisnya pramugari. “Bentar ya..”, aku yang tidak mau Bunga tau bahwa aku lupa mencoba mengulur waktu. Kucoba buka buku pelajaran bahasa Inggris miliknya berharap jawabannya tersedia di sana. Kucoba membolak-balikkan lembar demi lembar buku tersebut namun tak kunjung ku temukan jawabannya. Aku pun mulai menyerah. Sepertinya memang benar apa yang orang-orang katakan bahwa bahasa itu bisa karena terbiasa. Semenjak masuk kuliah aku sudah mulai jarang memakai bahasa Inggris seiring dengan tidak adanya mata kuliah bahasa Inggris. Ah, sepertinya aku tidak boleh berhenti belajar bahasa Inggris.
Aku yang tidak bisa menjawab pertanyaan dari Bunga pun bersiap-siap mengeluarkan jurus andalan. Baik, kuhela napas panjang, bibir kanan kucoba naikkan satu centimeter, kemudian bibir kiri juga aku naikkan satu centimeter dan bilang, “Hehe, mas lupa, coba yang bagian itu dilewati dulu”. Ternyata jurus ini cukup ampuh, Bunga menuruti perkataanku. Kegiatan belajar mengajar pun berjalan lagi sebagaiman mestinya. Memang benar jika ada orang yang bilang bahwa senyum adalah lengkungan yang meluruskan segalanya.
Sebenaranya malu sih tapi mau gimana lagi, namanya juga lupa. Parahnya lagi di kemudian hari aku bisanya ikut ngajar tiap hari Rabu, padahal tiap hari Rabu mata pelajaran yang dijadwalkan adalah bahasa Inggris. Meskipun aku masih punya jurus andalan jika saja kejadian seperti itu tadi terulang tapi tetap saja diri ini was was. Ya, tapi justru di sinilah seninya. Aku percaya bahwa mengajar adalah salah satu cara yang paling efektif untuk belajar.
Secara garis besar pembelajaran malam itu terasa cukup menyenangkan. Perlahan tapi pasti aku mulai dapat menyesuaikan diri dengan mereka. Semua seperti mengalir begitu saja dan terasa begitu menyenangkan. Sesekali kami bercanda sejenak dan tertawa bersama seolah kami sudah lama kenal. Ah, dunia anak memang selalu menyenangkan dan penuh keceriaan.
Waktu pun terus berjalan, tak terasa detik telah berganti menit, menit pun telah berganti jam. Sudah satu jam lamanya kegiatan belajar mengajar malam itu berjalan. Kami pun mengakhiri kegiatan belajar mengajar malam itu dengan kembali berdoa. Mereka pun berpamitan pulang satu per satu. Di momen yang singkat itu aku mencoba mengeluarkan jurus andalanku yang lain. Aku menyempatkan diri melakukan “toss” dengan mereka. Aku memang biasa melakukan ini kepada setiap anak yang aku temui. Bagiku “toss” merupakan salah satu cara yang paling ampuh untuk berkomunikasi dengan seorang anak. Lewat “toss” tersebut kita seolah sedang memberikan tanda kepada anak tersebut bahwa kita ini teman mereka. Meski hingga saat ini aku belum membaca teori ilmiahnya namun tetap saja hal tersebut masih saja aku lakukan.
Dengan “toss” terakhir dari anak kelima, berakhir pula tugasku malam itu untuk menemani mereka belajar. Meski tak berjalan terlalu mulus namun aku cukup puas. Perlu Anda ketahui bahwa tak semua volunteer dapat diterima dengan baik oleh anak-anak pada saat pertama kali bertemu. Aku terkadang menemukan ada anak-anak yang bilang, “Aku gak mau belajar sama mas ini atau mbak ini, aku maunya sama mas itu atau mbak itu”. Bukan karena tidak suka tapi hanya karena belum kenal. Tak perlu bersedih hati jika Anda mungkin mengalaminya sendiri di kemudian hari. Anda hanya perlu berjuang lebih keras dalam merebut hati si anak.
Semenjak insiden menjadi pengajar dadakan tersebut, aku secara rutin datang ke Taman Cerdas Mojosongo tiap hari Rabu malam. Semenjak itu pula aku selalu kedapatan jatah mengajar anak-anak kelas 5 SD. Dari sinilah benih cintaku dengan Solo Mengajar tumbuh subur. Benih yang sudah mulai bersemi semenjak pertama kali aku mengenal Solo Mengajar kini telah menghasilkan berbagai macam rasa. Kumpulan rasa yang kebahagiaan.menawarkan kebahagiaan di setiap irisannya.
Begitulah rasa yang aku rasakan ketika pertama kali mengajar bersama teman-teman Solo Mengajar. Kebersamaanku dengan Bunga dan kawan-kawannya tak berlangsung lama. Seiring dengan dibukanya kerjasama dengan Taman Cerdas Gandekan maka aku pun dipindahtugaskan ke Taman Cerdas Gandekan. Entah jodoh atau gimana di Taman Cerdas Gandekan pun aku kebagian jatah mengajar anak-anak kelas 5 SD. Bedanya, jika dulu ada Bunga dan kawan-kawan, kini ada Dhea dan kawan-kawan.

Senang rasanya andaikan suatu hari nanti bisa berjumpa dengan Bunga lagi. Entah besok, minggu depan, atau bahkan tahun depan. Ketika saat itu terjadi maka akan aku pastikan bahwa aku mengingat dengan baik bahasa Inggrinya pramugari. Tak kalah menyenangkan pula jika pada suatu hari nanti, ketika aku naik pesawat aku menemukan bahwa salah satu pramugarinya bernama Bunga. Bunga, murid kesayanganku di Taman Cerdas Mojosongo dulu yang kini telah menjadi pramugari.

Posted on 1:56:00 PM by Unknown

No comments

3/20/2015

tinta putih udin jenggot
Catatan Terakhir Acil
Bukankah setiap pertemuan itu menjanjikan perpisahan? Bukankah perpisahan adalah hak setiap pertemuan? Yang pasti akan diminta, cepat atau lambat? Meskipun sudah pasti, kenapa tetap saja perpisahan itu terasa menyedihkan. Seolah perpisahan itu jauh. Seolah perpisahan itu dapat dihindari. Seolah perpisahan itu tak pernah ada. Atau jangan-jangan aku saja yang tak pernah mengganggap bahwa perpisahan itu ada. Tak pernah menyiapkan diri menghadapi perpisahan. Terlena dengan hegemoni pertemuan yang seolah tak berujung.
Kini, perpisahan perlahan tapi pasti mulai menghampiriku. Diam-diam mengintip dari balik pepohonan. Berusaha menyamarkan baunya dengan bau angin. Seolah tak ingin membangunkanku dari hegemoni pertemuan. Membiarkan diriku secara perlahan menyadari kehadirannya. Setiap detik yang berlalu perpisahan semakin dekat dan semakin dekat. Aku tak tahu kapan perpisahan itu akan tiba tepat di depanku dan menyapaku.
Aku belum bisa menerima kehadirannya. Aku pun berusaha menjauh darinya. Namun semua itu terasa percuma. Setiap aku menjauh selangkah, perpisahan mendekatiku dua langkah. Setiap aku berteriak padanya agar Ia pergi, Ia hanya tersenyum padaku dan tak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Aku frustasi. Keadaan ini begitu menyiksaku. Aku kutuki Ia dengan segala sumoah serapah yang ku tahu. Bahkan, pertemuan pun turut kujadikan pelampiasan dari kekesalanku. Kenapa harus ada pertemuan jika pada akhirnya harus ada perpisahan? Kenapa? jawab!!
Detik demi detik berlalu dan berganti menit. Menit demi menit pun berlalu dan berganti dengan jam. Jam demi jam pun berlalu dan berganti dengan hari. Keadaan ini tak kunjung membaik. Aku masih saja belum bisa menerima kehadiran perpisahan. Hingga akhirnya perpisahan sudah ada di depanku. Hanya berjarak sehasta dari tempatku berdiri. Menyadari bahwa aku tak bisa menghindarinya, aku pun akhirnya meminta perpisahan berbaik hati padaku. Memintanya berjalan pelan dan membiarkanku menulis catatan terakhirku untuk saudaraku terkasih. Ternyata perpisahan tak seburuk yang aku kira. Ia mau berbaik hati dan membiarkan diriku menuliskan catatan terakhirku sebelum akhirnya membawaku pergi. Aku pun mulai menulis.

Teruntuk saudaraku terkasih,
Ahmad Saifudin

            Wahai saudaraku, masih ingatkah kamu saat pertama kali kita bertemu? Saat engkau hanya bisa tertegun melihatku. Saat wajah polosmu itu bersitatap dengan aku yang lusuh dan kumal ini. Ya, itulah aku yang dulu. Aku saat pertama kali kita bertemu. Sebelum kamu banyak mengubahku.
Kau mungkin dulu berpikir, bisa-bisanya ada orang yang bermuka mirip denganmu. Bahkan bisa dikatakan kita sama dalam hal apapun. Selera kita sama, wajah kita sama, makanan kesukaan kita pun sama. Hanya satu yang nampak berbeda antara aku dan kamu kala itu. Yaitu tampilan kita. Aku yang waktu itu adalah aku yang lusuh dan kumal. Sedangkan kamu adalah kamu yang tampil bak bangsawan dari negeri dongeng yang begitu mempesona.
Saudaraku, meski kita dari dunia yang berbeda, Itu tak sedikitpun menghalangi kita untuk bersama. Tak terhitung lagi berapa banyak langkah kaki yang kita ayunkan bersama. Tak terhitung lagi berapa banyak kenangan yang terhimpun di kepala, baik suka maupun duka. Kita telah lalui semua itu bersama. Hanya aku dan kamu.
Saudaraku, dari hari ke hari kita pun kini makin mirip satu sama lain. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Aku bukan lagi anak yang lusuh dan kumal dan kamu bukan lagi bangsawan dari negeri dongeng. Kita telah bertemu di titik pertengahan, titik yang sama,yaitu kita. Kita yang kini merupakan seorang petualang. Kita yang tak lagi terikat oleh latar belakang masing-masing. Maka, hilanglah aku dan hilanglah kamu. Sebut saja kita.
Saudaraku, ingin rasanya aku terus bersamamu dan menjadi kita. Hanya saja perpisahan kini telah ada di depanku. Hanya berjarak kurang dari sehasta dariku. Mau tidak mau, suka tidak suka Ia akan membawaku meninggalkanmu, saudaraku.
Saudaraku, percayalah. Tak sekalipun aku menyesali pertemuan kita. Aku bersyukur pernah bertemu denganmu. Kamu yang begitu berarti bagiku. Kamu yang telah banyak mengubahku.
Saudaraku, waktuku tidak banyak lagi. Kini perpisahan telah berada tepat di depanku. Aku kini seakan bisa meraskan hembusan napasnya.
Saudaraku, jangan pernah tangisi kepergianku. Tegarlah. Aku yakin akan ada yang bisa menggantikanku. Orang yang akan setia menemai perjalananmu. Dan menggantikan peranku sebagai kita.
Saudaraku, aku harus segera pergi. Perpisahan telah memegang tangan kiriku dan mengajakku pergi.
Saudarakau, selamat tinggal. Teruslah berjalan. Teruslah berpetualang. Kejar terus cita-citamu. Meski setinggi langit. Meski tak ada orang yang percaya bahwa kamu bisa. Percayalah, bahwa aku akan selalu percaya padamu. Dan aku akan mendoakan yang terbaik bagimu.

Saudaramu yang terkasih,
Acil


Tak lama setelah aku menulis catatan terakhirku. Perpisahan segera menarikku dan mengajakku berjalan bersamanya. Telah kutaruh catatan terakhirku dengan baik sehingga saudaraku dengan mudah bisa menemukannya. Aku pun pergi.

Posted on 6:44:00 PM by Unknown

No comments

3/11/2015


Hujan, 1% air dan 99% kenangan.
mesin waktu itu bernama hujan
Aku kira kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan tersebut. Ungkapan yang sangat kekinian. Menjadi salah satu frasa favorit bagi para netizen. Terutama bagi para pecandu meme. Dan bisa dibilang hampir selalu muncul kala hujan tiba, tentu saja dengan berbagai variasinya. Sebuah kalimat simpel namun nampaknya cukup mengena sehingga menyebar begitu cepat seperti panu di tubuh. Ehm, maksudku jamur di musim penghujan.
            Bagiku, hal itu nampaknya ada benarnya. Setidaknya begitulah yang terjadi pada malam ini. Sebetulnya tak ada yang spesial dari malam ini. Masih seperti malam-malam sebelumnya, sunyi dan sepi. Ah, satu lagi, hujan. Bila musim penghujan tiba hampir bisa dipastikan tak ada malam di bulan Maret yang terlewat tanpa hujan di desa ini. Desaku yang kucinta. Pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda. Dan handai taulanku (nyanyi).
Nampaknya satu-satunya yang tidak biasa malam ini adalah aku. Kampung halaman yang biasanya menjadi tempat terbaik untuk tinggal, kini terasa membosankan. Aku bosan. Bosan dengan segala rutinitas yang tanpa energi. Bosan dengan kampung halaman yang begitu tenang dan rindu tanah rantau yang penuh dengan tantangan. Telah kucoba berbaik hati dengan kebosanan yang aku alamai dengan cara bercengkrama dengan buku-bukuku. Yeah, my book is my wife. Begitulah yang selalu kubilang, setidaknya sampai ada istri sungguhan yang siap melengkapi diri.
            Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya telah kutelanjangi hari itu. Semua telah kubaca hingga selesai kurang dari 24 jam. Aku pun beralih pada Max Havelaar karya Multatuli alias Douwes Dekker. Sudah kubaca hingga bab 4 sebelum akhirnya aku menyerah dan  memilih untuk keluar dan memandang hujan yang tak kunjung reda. Hujan dengan intensitas sedang malam ini sepertinya akan menjadi teman baikku.
            Seperti yang kubilang di atas sepertinya hujan memang turun tidak hanya dengan butir-butir air namun juga kenangan. Perlahan kenangan masa kecil dulu terkenang kembali. Terlihat jelas bak kembali dengan mesin waktu. Kembali ke masa di mana malam terasa lebih sunyi. Tak ada penerangan jalan seperti sekarang. Masa di mana obor masih setia menemani perjalanan malam kami. Obor sederhana yang terbuat dari sebilah bambu dengan minyak tanah di dalamnya yang ujungnya disumpal dengan kain yang berfungsi sebagai sumbu.
Kembali ke masa di mana rumah pun masih jauh dari kata terang. Hanya mengandalkan lampu neon kuning sekian watt yang bersinar temaram. Hanya sedikit rumah yang sudah menggunakan lampu putih panjang yang notabene lebih terang. Bahkan tak jarang yang masih menggunakan damar atau uplik atau petromaks sebagai penerangan rumah. Mungkin masa itu adalah masa-masa terakhir kejayaan petromaks dan kongsinya. Karena setelahnya petromaks mulai ditinggalkan dan aku mulai jarang melihat rumah-rumah yang masih setia menggunakan jasanya.
            Meski temaram, masa itu adalah masa di mana rumah-rumah masih terbuka lebar. Tak seperti sekarang yang semua pintu tertutup rapat begitu senja menjelang. Ah, jangankan senja. Banyak sekarang rumah-rumah yang tertutup 24 jam. Seolah mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Atau mungkin takut barang-barang berharganya dicuri orang? Ah, memang masa sudah berbeda. Sekarang maling sudah mulai berkeliaran. Kemudian timbul pertanyaan dalam diri. Mengapa harus ada yang namanya maling? Apakah karena ada yang iri melihat mereka yang kaya? Atau karena ada yang malas untuk bekerja? Atau karena ada yang sedang berbaik hati dengan sesama? Mengingatkan yang kaya bahwa harta benda mereka hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa hilang tak bersisa. Ah, itu semua bukan urusanku. Saat ini aku hanya ingin mengarungi masa lalu dengan mesin waktuku yang bernama hujan.
            Kembali ke masa di mana jalan depan rumah begitu berdebu ketika kemarau tiba dan begitu becek saat musim penghujan datang. Tak seperti sekarang yang sudah diperkeras menggunakan beton bertulang yang justru nampak begitu dingin. Seolah tak ingin ada satu orang pun yang tahu apakah dia kepanasan ataupun kedinginan. Jalan itu kini terlihat sama, baik kemarau maupun penghujan.
Kembali ke masa di mana jembatan baja belum kokoh melintang di atas permukaan Sungai Tuntang. Jembatan baja yang telah mengggantikan jembatan bambu kami yang nampak lemah di atas air sungai yang nampak pendiam namun pemarah kala musim penghujan datang. Sering menghanyutkan jembatan bambu kami yang lemah entah kemana dan tak bersisa. Tinggallah perahu-perahu kecil yang menggantikannya sebagai sarana menuju desa sebrang. Lengkap sudahlah desa kami terisolasi dari dunia luar. Butuh waktu ekstra untuk menuju ke “pusar peradaban” karena harus jauh memutar.
            Kembali ke masa di mana sepeda onthel masih menjadi alat transportasi utama. Bisa dihitung dengan mudah jumlah orang yang memiliki sepeda motor di desa. Itupun kebanyakan sepeda motor seken buthut yang rajin sekali keluar masuk bengkel. Sepeda motor yang mengeluarkan asap tiap kali dinyalakan. Sungguh tak seperti sekarang yang hampir dipastikan setiap rumah memiliki minimal satu sepeda motor. Bagus pula.
            Kembali ke masa di mana kami berbondong-bondong keluar rumah kala bulan purnama tiba. Menggelar tikar entah apapun bahannya di depan rumah. Berkumpul, berbincang bersama sanak family maupun tetangga. Anak-anak juga? Aku dan teman-temanku waktu itu lebih asyik berlarian, bermain petak umpet atau apalah  asal namanya masih bermain dan tentu saja harus menyenangkan. Tak seperti masa sekarang yang  ramai-ramai mengunci rapat-rapat rumah masing-masing. Tersihir oleh kotak ajaib di rumah masing-masing. Tak ada ruang lagi bagi rembulan untuk melihat wajah kami. Tak ada lagi jithungan. Yang kini sangat kurindukan.
            Ah, masa memang sudah sangat berbeda. Bukankah aku sendiri juga sudah berbeda? Aku akui iya. Aku merupakan contoh salah satu manusia yang turut terlarut oleh zaman. Turut mengunci diri di dalam rumah saat malam tiba. Tak lagi menyapa bulan kala purnama tiba karena kini seolah tak memiliki arti. Hanya kesendirian yang kudapat ketika memaksakan diri keluar rumah. Aku yang turut tersihir oleh kotak ajaib. Kotak ajaib yang biasanya kugunakan untuk mengetahui dunia luar, sarana menuliskan keluh kesahku, seperti yang kulakukaan saat ini. Kotak ajaibku berbeda dengan kusebut sebelumnya. Kotak ajaibku ini bernama laptop. Atau lebih tepatnya Shelly. Begitulah aku menamainya.
            Aku pun tanpa sadar memulai membuat pagar tak terlihat. Perlahan tapi pasti mulai menyulap kamar di rumah menjadi layakna kamar kos. Kamar yang kini tak hanya berfungsi sebagai tempat tidur seperti halnya kebanyakan kamar-kamar di desa kami. Kamar yang kini bisa kugunakan untuk melakukan segala aktivitas. Lengkap. Jadilah aku seolah membuat blok rumah kecil di dalam rumah. Mungkin yang tersisa dari kamarku yang dulu hanyalah korden yang menjadi penutup antara kamarku dengan ruang tengah. Tak ada pintu. Begitulah dari dulu dan sampai sekarang tidak berubah. Mungkin ittulah satu-satunya yang masih tersisa dari masa lalu kamarku.
            Hujan tak jua kunjung reda. Diriku sudah lelah dengan segala perjalanan lintas waktu ini. kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menyapa kotak ajaibku dan menuliskan jejak-jejak perjalananku tadi.

Posted on 8:22:00 PM by Unknown

No comments