Hujan, 1% air dan 99% kenangan.
mesin waktu itu bernama hujan
Aku kira kita sudah tidak asing lagi dengan ungkapan tersebut. Ungkapan yang sangat kekinian. Menjadi salah satu frasa favorit bagi para netizen. Terutama bagi para pecandu meme. Dan bisa dibilang hampir selalu muncul kala hujan tiba, tentu saja dengan berbagai variasinya. Sebuah kalimat simpel namun nampaknya cukup mengena sehingga menyebar begitu cepat seperti panu di tubuh. Ehm, maksudku jamur di musim penghujan.
            Bagiku, hal itu nampaknya ada benarnya. Setidaknya begitulah yang terjadi pada malam ini. Sebetulnya tak ada yang spesial dari malam ini. Masih seperti malam-malam sebelumnya, sunyi dan sepi. Ah, satu lagi, hujan. Bila musim penghujan tiba hampir bisa dipastikan tak ada malam di bulan Maret yang terlewat tanpa hujan di desa ini. Desaku yang kucinta. Pujaan hatiku. Tempat ayah dan bunda. Dan handai taulanku (nyanyi).
Nampaknya satu-satunya yang tidak biasa malam ini adalah aku. Kampung halaman yang biasanya menjadi tempat terbaik untuk tinggal, kini terasa membosankan. Aku bosan. Bosan dengan segala rutinitas yang tanpa energi. Bosan dengan kampung halaman yang begitu tenang dan rindu tanah rantau yang penuh dengan tantangan. Telah kucoba berbaik hati dengan kebosanan yang aku alamai dengan cara bercengkrama dengan buku-bukuku. Yeah, my book is my wife. Begitulah yang selalu kubilang, setidaknya sampai ada istri sungguhan yang siap melengkapi diri.
            Burung-Burung Manyar karya Y.B Mangunwijaya telah kutelanjangi hari itu. Semua telah kubaca hingga selesai kurang dari 24 jam. Aku pun beralih pada Max Havelaar karya Multatuli alias Douwes Dekker. Sudah kubaca hingga bab 4 sebelum akhirnya aku menyerah dan  memilih untuk keluar dan memandang hujan yang tak kunjung reda. Hujan dengan intensitas sedang malam ini sepertinya akan menjadi teman baikku.
            Seperti yang kubilang di atas sepertinya hujan memang turun tidak hanya dengan butir-butir air namun juga kenangan. Perlahan kenangan masa kecil dulu terkenang kembali. Terlihat jelas bak kembali dengan mesin waktu. Kembali ke masa di mana malam terasa lebih sunyi. Tak ada penerangan jalan seperti sekarang. Masa di mana obor masih setia menemani perjalanan malam kami. Obor sederhana yang terbuat dari sebilah bambu dengan minyak tanah di dalamnya yang ujungnya disumpal dengan kain yang berfungsi sebagai sumbu.
Kembali ke masa di mana rumah pun masih jauh dari kata terang. Hanya mengandalkan lampu neon kuning sekian watt yang bersinar temaram. Hanya sedikit rumah yang sudah menggunakan lampu putih panjang yang notabene lebih terang. Bahkan tak jarang yang masih menggunakan damar atau uplik atau petromaks sebagai penerangan rumah. Mungkin masa itu adalah masa-masa terakhir kejayaan petromaks dan kongsinya. Karena setelahnya petromaks mulai ditinggalkan dan aku mulai jarang melihat rumah-rumah yang masih setia menggunakan jasanya.
            Meski temaram, masa itu adalah masa di mana rumah-rumah masih terbuka lebar. Tak seperti sekarang yang semua pintu tertutup rapat begitu senja menjelang. Ah, jangankan senja. Banyak sekarang rumah-rumah yang tertutup 24 jam. Seolah mengasingkan diri dari lingkungan sekitar. Atau mungkin takut barang-barang berharganya dicuri orang? Ah, memang masa sudah berbeda. Sekarang maling sudah mulai berkeliaran. Kemudian timbul pertanyaan dalam diri. Mengapa harus ada yang namanya maling? Apakah karena ada yang iri melihat mereka yang kaya? Atau karena ada yang malas untuk bekerja? Atau karena ada yang sedang berbaik hati dengan sesama? Mengingatkan yang kaya bahwa harta benda mereka hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa hilang tak bersisa. Ah, itu semua bukan urusanku. Saat ini aku hanya ingin mengarungi masa lalu dengan mesin waktuku yang bernama hujan.
            Kembali ke masa di mana jalan depan rumah begitu berdebu ketika kemarau tiba dan begitu becek saat musim penghujan datang. Tak seperti sekarang yang sudah diperkeras menggunakan beton bertulang yang justru nampak begitu dingin. Seolah tak ingin ada satu orang pun yang tahu apakah dia kepanasan ataupun kedinginan. Jalan itu kini terlihat sama, baik kemarau maupun penghujan.
Kembali ke masa di mana jembatan baja belum kokoh melintang di atas permukaan Sungai Tuntang. Jembatan baja yang telah mengggantikan jembatan bambu kami yang nampak lemah di atas air sungai yang nampak pendiam namun pemarah kala musim penghujan datang. Sering menghanyutkan jembatan bambu kami yang lemah entah kemana dan tak bersisa. Tinggallah perahu-perahu kecil yang menggantikannya sebagai sarana menuju desa sebrang. Lengkap sudahlah desa kami terisolasi dari dunia luar. Butuh waktu ekstra untuk menuju ke “pusar peradaban” karena harus jauh memutar.
            Kembali ke masa di mana sepeda onthel masih menjadi alat transportasi utama. Bisa dihitung dengan mudah jumlah orang yang memiliki sepeda motor di desa. Itupun kebanyakan sepeda motor seken buthut yang rajin sekali keluar masuk bengkel. Sepeda motor yang mengeluarkan asap tiap kali dinyalakan. Sungguh tak seperti sekarang yang hampir dipastikan setiap rumah memiliki minimal satu sepeda motor. Bagus pula.
            Kembali ke masa di mana kami berbondong-bondong keluar rumah kala bulan purnama tiba. Menggelar tikar entah apapun bahannya di depan rumah. Berkumpul, berbincang bersama sanak family maupun tetangga. Anak-anak juga? Aku dan teman-temanku waktu itu lebih asyik berlarian, bermain petak umpet atau apalah  asal namanya masih bermain dan tentu saja harus menyenangkan. Tak seperti masa sekarang yang  ramai-ramai mengunci rapat-rapat rumah masing-masing. Tersihir oleh kotak ajaib di rumah masing-masing. Tak ada ruang lagi bagi rembulan untuk melihat wajah kami. Tak ada lagi jithungan. Yang kini sangat kurindukan.
            Ah, masa memang sudah sangat berbeda. Bukankah aku sendiri juga sudah berbeda? Aku akui iya. Aku merupakan contoh salah satu manusia yang turut terlarut oleh zaman. Turut mengunci diri di dalam rumah saat malam tiba. Tak lagi menyapa bulan kala purnama tiba karena kini seolah tak memiliki arti. Hanya kesendirian yang kudapat ketika memaksakan diri keluar rumah. Aku yang turut tersihir oleh kotak ajaib. Kotak ajaib yang biasanya kugunakan untuk mengetahui dunia luar, sarana menuliskan keluh kesahku, seperti yang kulakukaan saat ini. Kotak ajaibku berbeda dengan kusebut sebelumnya. Kotak ajaibku ini bernama laptop. Atau lebih tepatnya Shelly. Begitulah aku menamainya.
            Aku pun tanpa sadar memulai membuat pagar tak terlihat. Perlahan tapi pasti mulai menyulap kamar di rumah menjadi layakna kamar kos. Kamar yang kini tak hanya berfungsi sebagai tempat tidur seperti halnya kebanyakan kamar-kamar di desa kami. Kamar yang kini bisa kugunakan untuk melakukan segala aktivitas. Lengkap. Jadilah aku seolah membuat blok rumah kecil di dalam rumah. Mungkin yang tersisa dari kamarku yang dulu hanyalah korden yang menjadi penutup antara kamarku dengan ruang tengah. Tak ada pintu. Begitulah dari dulu dan sampai sekarang tidak berubah. Mungkin ittulah satu-satunya yang masih tersisa dari masa lalu kamarku.
            Hujan tak jua kunjung reda. Diriku sudah lelah dengan segala perjalanan lintas waktu ini. kuputuskan untuk kembali ke kamar dan menyapa kotak ajaibku dan menuliskan jejak-jejak perjalananku tadi.