Setelah Perjalanan Suci (Part 1: Senin Pertama), kini saatnya menapaki jejak langkah dari Perjalanan Suci (Part 2: Selasa Luar Biasa). Inilah jejaknya..
Selasa sore, perjalanan suci ini
kembali berlanjut. Kali ini giliran TC Sumber yang menjadi tujuanku. Satu yang
selalu kuingat tentang TC Sumber adalah batu. Ya, batu. Begitu memasuki TC
Sumber kita akan disambut dengan hamparan batu-batu hitam berbentuk bulat yang
tersusun rapi di sepanjang jalan setapak. Sungguh anggun. Fungsinya sudah
seperti red carpet ala Hollywood saja, menyambut setiap orang
yang datang dengan kemewahannya. Itulah TC Sumber.
Sore itu karena satu dan lain hal aku
datang terlambat. Kegiatan belajar mengajar sudah dimulai begitu aku tiba di
sana. Sebelum beranjak dari sepeda motor dan bergabung dengan vols yang ada, aku menyempatkan diri
untuk sejenak mengamati keadaan di sana. Sekilas terlihat olehku sekelompok
anak kelas 1 sampai 3 SD sedang bermain dengan kakak-kakak vols di taman, kemudian anak-anak yang lain sedang asyik belajar di
pendapa. Samar-samar terdengar suara riuh rendah dari pendapa. Hal ini cukup
menarik perhatianku,, ada apakah gerangan di sana?
Dan….jreng jreng…jawabannya
adalah….*hening sejenak
Kartu!
Kulihat anak-anak sedang asyik bermain kartu. Iya…kartu. Eittzz…tapi bukan
sembarang kartu. Kartu ini bernama kartu pintar. Kartu berukuran kecil, sekitar
4x6 cm dengan tulisan angka-angka yang berbeda di setiap lembarnya. Siapa
sangka kartu sekecil ini dapat membuat suasana sore itu pecah, benar-benar
pecah. Tak terasa ujung bibir ini mulai naik, kanan dan kiri satu centimeter
secara simetris yang kemudian membentuk cekungan yang memberikan sebuah rasa
tersendiri. Rasa yang tidak lain merupakan sebuah rasa bahagia melihat kelucuan
dan antusiasme anak-anak memainkan kartu tersebut.
Saat aku datang permainan kartu ini
sudah hampir selesai. Di hadapanku tinggal tersisa dua orang anak yang sedang
berusaha saling mengalahkan satu sama lain. Bagi keduanya seolah-olah ini
adalah pertarungan hidup dan mati. Terlihat dari ekspresi mereka ketika akan
memilih kartu yang akan mereka keluarkan. Seolah berharap bahwa itu merupakan
angka keberuntungan mereka. Dan…suasana seketika pecah ketika keduanya mengeluarkan
kartunya secara bersamaan.
56!
72! Seolah sedang terancam bahaya, mereka menggunakan seluruh sisa-sisa suara
mereka untuk meneriakkan angka tersebut secepat mungkin. Angka yang mereka teriakkan
tadi merupakan hasil perkalian dari dua angka yang terdapat pada kartu yang
mereka keluarkan. Yang kalah cepat dalam menebak maka dia harus mengambil kartu
temannya tersebut. Pemenangnya adalah dia yang paling cepat menghabiskan kartu
yang ada di tangannya. Lucunya, terkadang dalam dua giliran keluar kartu yang
sama namun mereka membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menebak hasil
perkaliannya bahkan sampai salah menebak. Hal ini sontak mengundang gelak tawa
anak-anak lain dan kakak-kakak vols.
Serunya Kelas Berhitung Menggunakan Kartu Pintar |
PERJALANAN PUN BERLANJUT...
Masih di Selasa yang sama dengan cahaya yang
berbeda. Kini cahaya matahari sudah digantikan oleh cahaya lampu. TC Gandekan
yang merupakan rumah sendiri menjadi tujuan berikutnya. Kusebut rumah sendiri
karena di sinilah aku ditempatkan selama lebih dari setahun ini sebagai vols Solo Mengajar. Satu kata yang
menurutku paling menggambarkan TC Gandekan adalah merah. Bangunan yang memang
didominasi warna merah ini seolah menyimpan energi lebih bagi siapapun yang
memasukinya. Tak heran jika anak-anak di sini cukup atraktif.
Bagiku tiada tempat yang lebih
menyenangkan selain rumah sendiri. Begitu pula dengan TC Gandekan bila
dibandingkan dengan TC lain. Meski di
sini aku harus menghadapi anak-anak yang super atraktif dengan segala tingkah
laku mereka yang tak jarang membuatku mengelus dada. Namun sesuai dengan hukum
Newton ketiga, aksi sama dengan reaksi, di sini aku mendapatkan modal yang sangat
berharga untuk menghadapi mereka. Modal itu berupa volunteer super kece dengan “kegilaan” tingkat tingginya serta
pengurus TC yang ternyata tak kalah “gilanya”. Ah, sungguh setimpal. Tuhan Maha
Adil.
Malam itu begitu aku datang, suara
riuh rendah anak-anak langsung menyambutku. Beberapa orang anak terdengar
memanggil-manggil namaku, “Mas Udin…”. Tak lama kemudian ada sekelompok anak kelas
1 dan 2 SD yang menghampiriku dan menggelayut manja sambil berusaha memegang
jenggotku. Ya, jenggot. Jenggot yang kubiarkan tumbuh subur di daguku ini sejak
dulu sudah menjadi magnet tersendiri bagi anak-anak, terutama kelas 1 dan 2 SD.
Dan karena “akar nafas” alias jenggot inilah kemudian mereka memanggilku Mas
Udin Jenggot yang kemudian disingkat Udje. Sebuah nama yang kemudian dipakai
teman-teman vols Solo Mengajar untuk
memanggilku. Semacam nama panggung gitu. Haha.
Teeetttttt….teeeetttt….teeettttt.
Bel telah berbunyi sebanyak tiga kali, kegiatan belajar mengajar sudah saatnya
dimulai. Anak-anak pun mulai berlarian menuju ke kelasnya masing-masing. Kelas 1
dan 2 SD belajar di ruang perpustakaan, kelas 3 dan 4 SD belajar di ruang IT,
sedangkan kelas 5 SD hingga SMP belajar di pendapa. Tak mau kalah dengan
adik-adik, kami pun segera menempatkan diri sesuai dengan pembagian kelas yang
telah disepakati sambil mengajak adik-adik yang masih asyik bermain. Aku
sendiri malam itu mengajar murid langgananku, Dhea, dkk yang sekarang duduk di
bangku kelas 6 SD.
Selasa malam itu TC Gandekan lagi-lagi
mengeluarkan magisnya dengan memberikan
energi yang berlebih pada siapapun yang ada di dalamnya. Dengan energi yang
berlebih ini kegiatan belajar mengajar menjadi lebih “meriah”. Beberapa anak
yang kelebihan energi mencoba menggunakannya untuk berlarian dan mengusili teman-temannya
yang sedang belajar. Hal ini membuat kami mau tidak mau harus menyerap energi
yang diberikan oleh TC Gandekan sebanyak mungkin agar bisa mengimbangi mereka.
Kelas 1 dan 2 Taman Cerdas Gandekan |
Ah, lagi-lagi
teori relativitas Einstein bekerja di sini. Tak terasa kegiatan belajar telah
berakhir dan segelas teh hangat telah menanti kami. Teh hangat yang selalu
setia menemani obrolan kami pasca mengajar. Teh hangat yang di kemudian hari pasti
akan sangat kurindukan. Bukan karena rasanya namun karena kebersamaan yang
ditawarkan dalam setiap tegukannya.
Malam itu kami seolah enggan untuk
cepat-cepat meninggalkan TC Gandekan. Kami masih saja asyik mengobrol meskipun
waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Sepertinya pantat ini terlanjur mengakar
begitu dalam sehingga sulit sekali untuk diangkat. Namun, rumah ini bukanlah
tujuan akhir dari perjalanan kami sehingga kami pun harus pergi melanjutkan
perjalanan masing-masing. Sampai berjumpa lagi kawan. Di TC Gandekan, di rumah
kami.
0 comments:
Post a Comment