Aku bukanlah orang yang suka mengoleksi novel. Bukan
karena tidak suka hanya saja aku pikir jika hanya novel aku bisa pinjam ke
temanku. Tapi tidak untuk novel yang satu ini, Burung-Burung Manyar namanya.
Buah karya dari Y.B. Mangunwijaya. Bermula dari sebuah diskusi santai bersama
temanku tentang buku, sampailah dia bercerita tentang novel Burung-Burung
Manyar. Dia bercerita bahwa dia begitu ingin memiliki novel tersebut namun
belum juga kesampaian. Aku pun penasaran, seperti apa novel Burung-Burung
Manyar itu sampai ia begitu menginginkannya. Dari apa yang ia ceritakan, aku
mulai tertarik dengan novel tersebut. Aku pun berkonsultasi dengan Mbah Google.
Google....”burung-burung
manyar”, search..
Burung-Burung Manyar |
Ada sedikit kisah menarik saat aku
mencari novel ini di sebuah toko buku. Aku yang mulai lelah mencari-cari
keberadaan novel tersebut, mencoba peruntungan dengan bertanya pada seorang
penjaga toko. Sebut saja “masnya”. Semoga masnya bisa memberi pencerahan
padaku. Setelah kujelaskan keperluanku, masnya ber “oh” pertanda mengerti apa
yang kucari. Ia pun menunjukkan isyarat agar aku mengikutinya. Eh...bukannya ditunjukkan
novel Burung-Burung Manyar malah ditunjukkan deretan buku yang isinya cara
merawat burung manyar. Di situ kadang saya merasa sedih. Duh mas, aku nyari
novel bukan mau melihara burung. Tapi karena tidak ingin membuat masnya
bersedih hati aku pun pura-pura memilah-milah buku tersebut sebelum akhirnya
kabur ketika masnya pergi. Haha.
Singkat
cerita, aku akhirnya berhasil mendapatkan buku tersebut. Sebelum kubaca, aku sampuli
terlebih dulu buku tersebut layaknya buku-bukuku yang lain. Biar awet bos. Haha.
Aku buka lembar demi lembar novel tersebut, kubaca dengan seksama sambil
membayangkan cerita yang disajikan novel tersebut. Aku begitu menikmati membaca
novel tersebut hingga tak terasa aku telah merampungkan novel tersebut kurang
dari 24 jam. Haha.
MANUSIAWI
Itulah
satu kata yang aku pilih apabila diminta untuk menggambarkan novel tersebut
dengan satu kata. Lewat Burung-Burung Manyar kita diajak oleh Y.B Mangunwijaya
untuk melihat sisi lain dari masa kemerdekaan. Dalam hal ini kita diajak untuk
melihatnya dari sisi pribumi yang mengabdi pada Belanda. Seorang pribumi yang
begitu membenci Jepang. Seorang pribumi yang anti republik. Pribumi tersebut
bernama Setadewa, alias Teto. Seorang anak letnan KNIL (tentara kerajaan
Belanda).
Aku
selalu membayangkan bahwa kemerdekaan adalah impian semua rakyat Indonesia kala
itu. Aku selalu membayangkan bahwa keadaan pasti akan lebih baik setelah
Indonesia merdeka. Tapi itu dulu. Seiring berjalannya waktu aku mulai sadar
bahwa setiap perubahan, sebut aja revolusi pasti timbul yang namanya gejolak. Ada
masa di mana kita merasa bahwa keadaan tak jua kunjung membaik meski telah
terjadi revolusi. Bahkan mungkin bagi sebagian orang justru terasa semakin
buruk. Terutama bagi rakyat kecil yang bisa jadi tidak begitu peduli dengan
yang namanya kemerdekaan. Tak peduli siapa yang menjadi pemimpin mereka. Asal mereka
bisa makan tiap hari saja itu sudah cukup.
Aku masih belum mampu membayangkan
bagaimana jika aku hidup di masa kemerdekaan. Hidup di masa sebuah negara
mencoba berdiri sendiri setelah ratusan tahun tertidur telungkup. Masa di mana
sebuah negara sedang mencari pijakan dan jati diri. Pastilah berat. Lewat Burung-Burung
Manyar ini, kita diajak untuk merasakan itu semua. Hidup di masa awal
kemerdekaan dengan sudut pandang dari seseorang yang anti republik dan lebih
memihak Belanda.
Lantas,
salahkah Teto yang lebih memilih memihak Belanda ketimbang republik? Begini,
mari coba kita berandai-andai jika kita menjadi Teto. Lahir sebagai anak
seorang letnan KNIL dan masih keturunan keraton. Bukankah Teto kecil terbiasa
hidup nyaman dan bebas? Sebelum akhirnya Jepang datang dan membuat keluarganya
terpisah. Ayahnya ditangkap tentara Jepang, sedangkan ibunya harus merelakan
dirinya menjadi budak Jepang demi keselamatan ayahnya. Untuk alasan satu ini
aku kira semua akan setuju jika Teto begitu membenci Jepang. Tapi kenapa ia
masih saja memihak Belanda ketimbang membela republik saat kemerdekaan itu
tiba? Silahkan temukan jawabannya sendiri ya...hehe
Novel
ini memang berlatar belakang zaman kemerdekaan. Tapi novel ini tidak hanya
berbicara tentang heroisme perjuangan, novel ini juga bicara tentang roman. Bahkan
di sampul bukunya sudah terpampang jelas, sebuah roman. Aku suka bagaimana cara
Y.B. Mangunwijaya menggambarkan romantisme di novel ini. Tidak berlebihan dan
terasa begitu manusiawi. Sebuah romantisme yang begitu jantan. Romantisme antara
Teto yang anti republik dengan Atik yang pro republik.
Overall,
aku suka sekali dengan Burung-Burung Manyar. Novel ini begitu hidup. Aku suka
alur ceritanya, aku suka setting ceritanya, aku suka penokohannya, aku suka
bahasanya, aku suka Burung-Burung Manyar. Bacalah, dan nikmati sensasinya.
Haha.