Rose |
Aku
ulangi sekali lagi, namaku Rose. Aku dilahirkan pada masa peralihan antara
musim kemarau menuju musim penghujan. Kala pohon-pohon mulai bersemi. Kala
burung-burung berkicau riang menyambut turunnya berkah dari langit. Kala hanya
ada satu bunga mawar yang mekar di pekarangan rumah. Kesendirian mawar itulah
yang menjadikannya pusat perhatian dan begitu dijaga oleh kedua orang tuaku
yang memang pecinta bunga. Hingga akhirnya aku lahir menyapa dunia dan dinamai
Rose. Mawar satu-satunya keluargaku. Mawar yang menjadi pusat perhatian dan
akan selalu dijaga.
Baik, mari hentikan pembicaraan tentang
nama. Aku takut aku tidak dapat menahan segala rasa yang telah lama kusimpan
rapat-rapat untuk diriku sendiri.
Singkat cerita, kini aku sudah besar.
Aku telah berumur 23 tahun. Umur yang mulai bisa disebut dewasa untuk ukuran
seorang perempuan. Umur di mana seorang perempuan mulai sering ditanya tentang
jalan hidup yang ia pilih. Jalan hidup yang selalu saja dipertanyakan setiap
orang meskipun aku sudah memilih dan aku sendiri yang akan menjalaninya. Namun
tetap saja pertanyaan yang berisi keraguan tentang apa yang aku pilih selalu
saja muncul. Mengapa pilih ini lah, mengapa pilih itu lah, dan saudara mengapa
mengapa yang lain selalu saja bermunculan. Seolah apapun yang aku pilih salah
di mata mereka. Plis, mengapa tidak kalian berhenti melemparkan kata mengapa
padaku? Aku benci dengan kata itu. Aku bukanlah orang yang kuat yang bisa terus
berdiri dihujani kata mengapa. Jadi kumohon berhentilah mempertanyakan segala
keputusanku.
Dari sekian pertanyaan mengapa yang
paling sering muncul adalah mengapa di usiaku yang sudah menginjak 23 tahun ini
aku belum juga menunjukkan keinginan untuk menikah. Ya, aku memang belum ingin
menikah dalam waktu dekat ini. Bukan karena aku tidak ingin apalagi karena
tidak ada lelaki yang tertarik padaku. Percayalah, sudah ada beberapa lelaki
yang mencoba mendekatiku. Mencoba menawarkan janji-janji palsu mereka yang
hanya aku anggap sebagai angin lalu. Untuk saat ini, aku hanya masih ingin
bebas. Aku hanya ingin bermesraan dengan diriku sendiri. Sebelum kelak aku
menjadi seorang istri. Dan jika waktu itu tiba, percayalah aku rela
mengorbankan setiap kebebasanku dan hidup di bawah ketiak suami.
Jika kalian tidak pernah merasakan
rasanya menjadi anak rumahan sepanjang hidup, maka jangan sekali-kali kalian
mempertanyakan keputusanku itu. Kalian harus tahu, aku bosan. Aku bosan terus
menerus menjadi mawar yang terkurung di pekarangan rumah. Yang hanya bisa
melihat iri pada kupu-kupu yang bisa terbang bebas sesuka hatinya. Aku sangat
ingin sekali keluar. Merasakan matahari pagi dari puncak gunung, menikmati
indahnya senja di bibir pantai, aku ingin menikmati suka duka hidup sendiri.
Aku ingin kerja di luar kota, jauh dari
sanak famili. Aku ingin merasakan nikmatnya menikmati hasil jerih payah
sendiri. Menikmati setiap jatuh bangun yang aku yakin akan membuatku semakin
kuat dalam menghadapi hidup. Aku sampai saat ini aku tidak sekalipun menyesali
pilihan yang telah aku pilih. Meski sudah setahun lebih semenjak aku lulus dan
menjadi seorang sarjana namun aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang aku
inginkan. Aku, yang dulu di elu-elukan sebagai harapan bangsa ketika masih
menjadi mahasiswa, kini hanya menjadi beban bangsa. Kini, aku menjadi bagian
dari sekian juta penggangguran yang ada di negri ini. Dan dengan titel sarjana
yang aku sandang bebanku sebagai pengangguran semakin berat. Memang benar kata
orang-orang, bahwa menjadi sarjana bukanlah sebuah jaminan untuk mendapatkan
hidup yang lebih mudah.
Aku memang belum mendapatkan pekerjaan
tapi bukan berarti aku cuma berdiam diri saja selama setahun ini. Aku terus
bergerilya dari satu kota ke kota yang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak buatku. Aku memang orangnya suka pilih-pilih. Aku enggan jika harus
bekerja di sembarang tempat, apalagi tidak sesuai dengan bidangku. Aku tidak
ingin menghabiskan waktu kebebasanku yang aku pikir tidak akan lama ini hanya
untuk bekerja di tempat yang tidak aku senangi. Aku ingin bekerja dengan
sepenuh jiwa bukan karena keterpaksaan. Selama aku masih bisa memilih maka aku
lebih baik memilih.
Aku ingin sedikit bercerita tentang
sedikit usahaku dalam mendapatkan pekerjaan. Pernah suatu ketika sekitar jam 9
malam aku mendapatkan panggilan tes kerja dari sebuah perusahaan di Surabaya.
Padahal aku waktu itu masih dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Solo dan
besok pagi harus sudah berada di Surabaya. Aku bingung. Ini sudah malam dan
jika ingin ikut tes maka kau harus berangkat malam ini juga. Aku ini seorang
perempuan. Apa kata orang jika aku keluar malam-malam begini. Pasti akan
semakin banyak kata mengapa yang akan menghampiriku. Aku juga tidak mungkin
mengajak ayahku yang sudah tua dan harus bekerja esok hari.
Aku pun akhirnya mencoba peruntungan
dengan mengajak teman dekatku, Cinta namanya. Aku sebenarnya tidak terlalu
berharap banyak selain karena sudah malam, Solo-Surabaya bukanlah jarak yang
dekat. Tapi ternyata Tuhan sedang berbaik hati. Cinta mau menemani
perjalananku. Dan dengan restu dari ayahku, kami berdua pun berangkat ke
Surabaya tengah malam itu juga.
Aku memang belum tahu hasil dari tes
kerja ku yang di Surabaya itu. Tapi aku sangat berharap aku bisa diterima
sehingga aku dapat mengakhiri pencarianku. Aku mulai lelah. Sudah terlalu
banyak pertanyaan mengapa yang menghampiriku. Aku ingin segera mengakhirinya
dan mengusir jauh-jauh pertanyaan-pertanyaan itu dari kehidupanku.
Baik, sepertinya aku harus menyudahi
cerita ini sampai di sini dulu. Aku harus segera pergi ke Semarang. Lain kali
mari kita lanjutkan.
0 comments:
Post a Comment