Mawar merah
Rose
Perkenalkan, namaku Rose. Begitulah aku biasa dipanggil dan begitu pula nama lengkapku. Ya, namaku hanya Rose. Satu kata, 4 huruf. Tak kurang dan tak lebih. Aku ingatkan, jangan pernah kalian mengejekkuku karena namaku. Kalian boleh mengejekku karena kejelekan rupaku atau karena ketidakmampuanku akan berbagai hal, tapi tidak untuk namaku. Nama ini adalah satu-satunya peninggalan dari Almarhumah ibuku. Takkan kubiarkan siapapun menertawakannya.
            Aku ulangi sekali lagi, namaku Rose. Aku dilahirkan pada masa peralihan antara musim kemarau menuju musim penghujan. Kala pohon-pohon mulai bersemi. Kala burung-burung berkicau riang menyambut turunnya berkah dari langit. Kala hanya ada satu bunga mawar yang mekar di pekarangan rumah. Kesendirian mawar itulah yang menjadikannya pusat perhatian dan begitu dijaga oleh kedua orang tuaku yang memang pecinta bunga. Hingga akhirnya aku lahir menyapa dunia dan dinamai Rose. Mawar satu-satunya keluargaku. Mawar yang menjadi pusat perhatian dan akan selalu dijaga.
Baik, mari hentikan pembicaraan tentang nama. Aku takut aku tidak dapat menahan segala rasa yang telah lama kusimpan rapat-rapat untuk diriku sendiri.
Singkat cerita, kini aku sudah besar. Aku telah berumur 23 tahun. Umur yang mulai bisa disebut dewasa untuk ukuran seorang perempuan. Umur di mana seorang perempuan mulai sering ditanya tentang jalan hidup yang ia pilih. Jalan hidup yang selalu saja dipertanyakan setiap orang meskipun aku sudah memilih dan aku sendiri yang akan menjalaninya. Namun tetap saja pertanyaan yang berisi keraguan tentang apa yang aku pilih selalu saja muncul. Mengapa pilih ini lah, mengapa pilih itu lah, dan saudara mengapa mengapa yang lain selalu saja bermunculan. Seolah apapun yang aku pilih salah di mata mereka. Plis, mengapa tidak kalian berhenti melemparkan kata mengapa padaku? Aku benci dengan kata itu. Aku bukanlah orang yang kuat yang bisa terus berdiri dihujani kata mengapa. Jadi kumohon berhentilah mempertanyakan segala keputusanku.
Dari sekian pertanyaan mengapa yang paling sering muncul adalah mengapa di usiaku yang sudah menginjak 23 tahun ini aku belum juga menunjukkan keinginan untuk menikah. Ya, aku memang belum ingin menikah dalam waktu dekat ini. Bukan karena aku tidak ingin apalagi karena tidak ada lelaki yang tertarik padaku. Percayalah, sudah ada beberapa lelaki yang mencoba mendekatiku. Mencoba menawarkan janji-janji palsu mereka yang hanya aku anggap sebagai angin lalu. Untuk saat ini, aku hanya masih ingin bebas. Aku hanya ingin bermesraan dengan diriku sendiri. Sebelum kelak aku menjadi seorang istri. Dan jika waktu itu tiba, percayalah aku rela mengorbankan setiap kebebasanku dan hidup di bawah ketiak suami.
Jika kalian tidak pernah merasakan rasanya menjadi anak rumahan sepanjang hidup, maka jangan sekali-kali kalian mempertanyakan keputusanku itu. Kalian harus tahu, aku bosan. Aku bosan terus menerus menjadi mawar yang terkurung di pekarangan rumah. Yang hanya bisa melihat iri pada kupu-kupu yang bisa terbang bebas sesuka hatinya. Aku sangat ingin sekali keluar. Merasakan matahari pagi dari puncak gunung, menikmati indahnya senja di bibir pantai, aku ingin menikmati suka duka hidup sendiri.
Aku ingin kerja di luar kota, jauh dari sanak famili. Aku ingin merasakan nikmatnya menikmati hasil jerih payah sendiri. Menikmati setiap jatuh bangun yang aku yakin akan membuatku semakin kuat dalam menghadapi hidup. Aku sampai saat ini aku tidak sekalipun menyesali pilihan yang telah aku pilih. Meski sudah setahun lebih semenjak aku lulus dan menjadi seorang sarjana namun aku belum juga mendapatkan pekerjaan yang aku inginkan. Aku, yang dulu di elu-elukan sebagai harapan bangsa ketika masih menjadi mahasiswa, kini hanya menjadi beban bangsa. Kini, aku menjadi bagian dari sekian juta penggangguran yang ada di negri ini. Dan dengan titel sarjana yang aku sandang bebanku sebagai pengangguran semakin berat. Memang benar kata orang-orang, bahwa menjadi sarjana bukanlah sebuah jaminan untuk mendapatkan hidup yang lebih mudah.
Aku memang belum mendapatkan pekerjaan tapi bukan berarti aku cuma berdiam diri saja selama setahun ini. Aku terus bergerilya dari satu kota ke kota yang lain untuk mendapatkan pekerjaan yang layak buatku. Aku memang orangnya suka pilih-pilih. Aku enggan jika harus bekerja di sembarang tempat, apalagi tidak sesuai dengan bidangku. Aku tidak ingin menghabiskan waktu kebebasanku yang aku pikir tidak akan lama ini hanya untuk bekerja di tempat yang tidak aku senangi. Aku ingin bekerja dengan sepenuh jiwa bukan karena keterpaksaan. Selama aku masih bisa memilih maka aku lebih baik memilih.
Aku ingin sedikit bercerita tentang sedikit usahaku dalam mendapatkan pekerjaan. Pernah suatu ketika sekitar jam 9 malam aku mendapatkan panggilan tes kerja dari sebuah perusahaan di Surabaya. Padahal aku waktu itu masih dalam perjalanan pulang dari Yogyakarta ke Solo dan besok pagi harus sudah berada di Surabaya. Aku bingung. Ini sudah malam dan jika ingin ikut tes maka kau harus berangkat malam ini juga. Aku ini seorang perempuan. Apa kata orang jika aku keluar malam-malam begini. Pasti akan semakin banyak kata mengapa yang akan menghampiriku. Aku juga tidak mungkin mengajak ayahku yang sudah tua dan harus bekerja esok hari.
Aku pun akhirnya mencoba peruntungan dengan mengajak teman dekatku, Cinta namanya. Aku sebenarnya tidak terlalu berharap banyak selain karena sudah malam, Solo-Surabaya bukanlah jarak yang dekat. Tapi ternyata Tuhan sedang berbaik hati. Cinta mau menemani perjalananku. Dan dengan restu dari ayahku, kami berdua pun berangkat ke Surabaya tengah malam itu juga.
Aku memang belum tahu hasil dari tes kerja ku yang di Surabaya itu. Tapi aku sangat berharap aku bisa diterima sehingga aku dapat mengakhiri pencarianku. Aku mulai lelah. Sudah terlalu banyak pertanyaan mengapa yang menghampiriku. Aku ingin segera mengakhirinya dan mengusir jauh-jauh pertanyaan-pertanyaan itu dari kehidupanku.

Baik, sepertinya aku harus menyudahi cerita ini sampai di sini dulu. Aku harus segera pergi ke Semarang. Lain kali mari kita lanjutkan.