Bila menengok jauh ke belakang seolah
tak ada malam yang lebih berkesan selain Rabu malam di Bulan Desember tahun
2012. Semua kisahku bersama Solo Mengajar berawal dari Rabu malam. Rabu malam
itu kali pertama aku menginjakkan kaki di Taman Cerdas Mojosongo. Kali pertama
pula aku mengenal Solo Mengajar.
Tentang mengajar. Mengajar memang bukan
hal yang asing bagiku tapi Rabu malam itu menjadi kali pertama aku mengajar
bersama teman-teman Solo Mengajar. Meskipun bukan yang pertama kali mengajar
anak-anak, waktu itu timbul rasa was was jika saja aku melakukan kesalahan.
Alhasil akupun masih kikuk dalam
mengawali pembelajaran.
Aku yang malam itu “menyusup” di antara
teman-teman Solo Mengajar mendapatkan hukuman turut serta mengajar. Sebagai
terpidana, maka tak ada pilihan lain bagiku selain menjalani hukuman tersebut
dengan legawa. Aku berjalan pelan mengikuti Mas Deka menuju ke ruang komputer.
Di sana sudah ada sekumpulan anak kelas 5 SD yang terlihat masih asyik bermain.
Melihat kedatangan kami mereka pun berhenti bermain dan duduk melingkar bersiap
memulai kegiatan belajar mengajar. Oleh Mas Deka aku diberi tugas mengajar
murid perempuan.
Kini di depan mataku sudah ada 5 siswi
kelas 5 SD yang harus aku bimbing selama satu jam ke depan. Aku yang masih kikuk mencoba melirik kelompok sebelah
yang dikomandoi oleh Mas Deka. Mengamati dengan seksama, memastikan tak ada
yang terlewat untuk kemudian mencoba menirukan apa yang ia lakukan.
“Ooohh…”,ujarku dalam hati merasa sudah
paham dengan apa yang dilakukan oleh Mas Deka. Aku pun mencoba mengawali kegiatan
belajar mengajar dengan berdoa bersama. Setelah itu karena aku asing bagi
mereka, sebagaimana juga mereka asing bagiku maka aku ajak mereka berkenalan. Aku
coba memperkenalkan diri terlebih dahulu kemudian aku minta mereka
memperkenalkan diri satu per satu.
Dari 5 orang siswi tersebut ada satu
siswi yang cukup menarik perhatianku. Sebut saja dia Bunga. Begitulah
teman-teman memanggilnya. Bunga bukanlah nama samaran yang biasa digunakan
dalam berita kriminal di televisi tapi ini memang nama dia sesungguhnya. Sekilas
dia memang nampak biasa kecuali pipi chubby
dan potongan rambut khas tokoh animasi Dora
The Explorer yang membuatnya kelihatan menonjol di antara teman-temannya
yang lain. Tampilannya yang khas tersebut membuatku mudah mengingatnya bahkan hingga
saat ini, padahal di sisi lain aku sudah lupa siapa saja 4 anak yang lainnya.
Ehm, satu lagi yang kuingat darinya, suaranya yang cenderung ngebass membuatnya nampak lebih dewasa
dari pada usianya.
Perkenalan berjalan dengan lancar.
Mereka sempat tertawa saat aku memperkenalkan diri. Maklum, dengan nama Udin
yang cukup terkenal kala itu membuat siapapun akan tertawa terutama anak-anak
yang memang miskin akan kepura-puraan. Meskipun begitu ada hikmahnya juga
memiliki nama yang terkenal yaitu mudah diingat. Hal ini terbukti saat aku
mengajar untuk kedua kalinya mereka masih mengingat namaku dengan baik bahkan
justru aku yang lupa dengan nama mereka. Jadi malu sendiri.
Setelah merasa kehadiranku dapat
diterima dengan baik oleh mereka aku pun memulai pembelajaran malam itu. Kebetulan
saat itu mata pelajaran yang diajarkan adalah bahasa Inggris. Materinya sendiri
berkisar tentang berbagai jenis profesi seperti polisi, dokter, suster, tukang
batu, penjahit, dan lain sebagainya. Meskipun aku malam ini mengajar tanpa
persiapan, aku cukup yakin bahwa aku cukup menguasai materi tersebut.
Pembelajaran berjalan lancar hingga
Bunga dengan rasa ingin tahunya melemparkan sebuah pertanyaan padaku. “Mas,
bahasa Inggrisnya pramugari apa?”
Eee..apa ya? Duh, aku lupa bahasa
Inggrisnya pramugari. “Bentar ya..”, aku yang tidak mau Bunga tau bahwa aku
lupa mencoba mengulur waktu. Kucoba buka buku pelajaran bahasa Inggris miliknya
berharap jawabannya tersedia di sana. Kucoba membolak-balikkan lembar demi
lembar buku tersebut namun tak kunjung ku temukan jawabannya. Aku pun mulai
menyerah. Sepertinya memang benar apa yang orang-orang katakan bahwa bahasa itu
bisa karena terbiasa. Semenjak masuk kuliah aku sudah mulai jarang memakai
bahasa Inggris seiring dengan tidak adanya mata kuliah bahasa Inggris. Ah,
sepertinya aku tidak boleh berhenti belajar bahasa Inggris.
Aku yang tidak bisa menjawab pertanyaan
dari Bunga pun bersiap-siap mengeluarkan jurus andalan. Baik, kuhela napas
panjang, bibir kanan kucoba naikkan satu centimeter, kemudian bibir kiri juga
aku naikkan satu centimeter dan bilang, “Hehe, mas lupa, coba yang bagian itu
dilewati dulu”. Ternyata jurus ini cukup ampuh, Bunga menuruti perkataanku.
Kegiatan belajar mengajar pun berjalan lagi sebagaiman mestinya. Memang benar
jika ada orang yang bilang bahwa senyum adalah lengkungan yang meluruskan
segalanya.
Sebenaranya malu sih tapi mau gimana
lagi, namanya juga lupa. Parahnya lagi di kemudian hari aku bisanya ikut ngajar
tiap hari Rabu, padahal tiap hari Rabu mata pelajaran yang dijadwalkan adalah
bahasa Inggris. Meskipun aku masih punya jurus andalan jika saja kejadian
seperti itu tadi terulang tapi tetap saja diri ini was was. Ya, tapi justru di
sinilah seninya. Aku percaya bahwa mengajar adalah salah satu cara yang paling
efektif untuk belajar.
Secara garis besar pembelajaran malam
itu terasa cukup menyenangkan. Perlahan tapi pasti aku mulai dapat menyesuaikan
diri dengan mereka. Semua seperti mengalir begitu saja dan terasa begitu
menyenangkan. Sesekali kami bercanda sejenak dan tertawa bersama seolah kami
sudah lama kenal. Ah, dunia anak memang selalu menyenangkan dan penuh
keceriaan.
Waktu pun terus berjalan, tak terasa detik
telah berganti menit, menit pun telah berganti jam. Sudah satu jam lamanya kegiatan
belajar mengajar malam itu berjalan. Kami pun mengakhiri kegiatan belajar
mengajar malam itu dengan kembali berdoa. Mereka pun berpamitan pulang satu per
satu. Di momen yang singkat itu aku mencoba mengeluarkan jurus andalanku yang
lain. Aku menyempatkan diri melakukan “toss”
dengan mereka. Aku memang biasa melakukan ini kepada setiap anak yang aku
temui. Bagiku “toss” merupakan salah
satu cara yang paling ampuh untuk berkomunikasi dengan seorang anak. Lewat “toss” tersebut kita seolah sedang
memberikan tanda kepada anak tersebut bahwa kita ini teman mereka. Meski hingga
saat ini aku belum membaca teori ilmiahnya namun tetap saja hal tersebut masih
saja aku lakukan.
Dengan “toss” terakhir dari anak kelima, berakhir pula tugasku malam itu
untuk menemani mereka belajar. Meski tak berjalan terlalu mulus namun aku cukup
puas. Perlu Anda ketahui bahwa tak semua volunteer
dapat diterima dengan baik oleh anak-anak pada saat pertama kali bertemu. Aku
terkadang menemukan ada anak-anak yang bilang, “Aku gak mau belajar sama mas
ini atau mbak ini, aku maunya sama mas itu atau mbak itu”. Bukan karena tidak
suka tapi hanya karena belum kenal. Tak perlu bersedih hati jika Anda mungkin
mengalaminya sendiri di kemudian hari. Anda hanya perlu berjuang lebih keras
dalam merebut hati si anak.
Semenjak insiden menjadi pengajar
dadakan tersebut, aku secara rutin datang ke Taman Cerdas Mojosongo tiap hari
Rabu malam. Semenjak itu pula aku selalu kedapatan jatah mengajar anak-anak
kelas 5 SD. Dari sinilah benih cintaku dengan Solo Mengajar tumbuh subur. Benih
yang sudah mulai bersemi semenjak pertama kali aku mengenal Solo Mengajar kini
telah menghasilkan berbagai macam rasa. Kumpulan rasa yang
kebahagiaan.menawarkan kebahagiaan di setiap irisannya.
Begitulah rasa yang aku rasakan ketika
pertama kali mengajar bersama teman-teman Solo Mengajar. Kebersamaanku dengan Bunga
dan kawan-kawannya tak berlangsung lama. Seiring dengan dibukanya kerjasama
dengan Taman Cerdas Gandekan maka aku pun dipindahtugaskan ke Taman Cerdas
Gandekan. Entah jodoh atau gimana di Taman Cerdas Gandekan pun aku kebagian
jatah mengajar anak-anak kelas 5 SD. Bedanya, jika dulu ada Bunga dan
kawan-kawan, kini ada Dhea dan kawan-kawan.
Senang rasanya andaikan suatu hari nanti
bisa berjumpa dengan Bunga lagi. Entah besok, minggu depan, atau bahkan tahun
depan. Ketika saat itu terjadi maka akan aku pastikan bahwa aku mengingat
dengan baik bahasa Inggrinya pramugari. Tak kalah menyenangkan pula jika pada
suatu hari nanti, ketika aku naik pesawat aku menemukan bahwa salah satu
pramugarinya bernama Bunga. Bunga, murid kesayanganku di Taman Cerdas Mojosongo
dulu yang kini telah menjadi pramugari.