Setelah Perjalanan Suci (Part 1: Senin Pertama) dan Perjalanan Suci (Part 2: Selasa Luar Biasa), kini saatnya menapaki jejak langkah berikutnya, yaitu Perjalanan Suci (Part 3: Akhir yang Romantis). Inilah jejaknya...
taman cerdas mojosongo solo mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar saat Listrik Mati di TC Mojosongo

RABU, UNTUK YANG PERTAMA...
            Perjalanan suci pun berlanjut. Kususuri sebuah perkampungan dengan gang-gang yang terlihat sama. Layaknya sebuah maze yang siap menyesatkan siapapun yang masuk di dalamnya. Ku berjalan dengan penuh kehati-hatian berharap tiada pertanda yang terlewat.  Hingga akhirnya tibalah aku di sebuah tempat sumber keceriaan yang lain bernama TC Gambirsari.
            Terlihat olehku beberapa orang vols dan adik-adik yang sedang asyik bercengkrama satu dengan yang lainnya. Tanpa menunggu lama aku pun langsung bergabung dengan mereka. Turut bercengkrama bersama sambil menunggu kegiatan belajar mengajar dimulai.
            Detik demi detik terus berjalan. Kegiatan belajar mengajar sudah hampir dimulai namun baik vols maupun adik-adik yang datang malam itu tak sebanyak biasanya. Meski tak terucap, aku yakin setiap dari kami pasti berharap masih ada adik-adik maupun vols yang datang. Menunggu dan menunggu. Ah, ada yang datang! Mas Adit.
            Berjalan perlahan memasuki TC dengan kardus di tangan. Layaknya pemain teater yang muncul dari kegelapan dengan sorot lampu yang tak pernah sedetik pun menjauh darinya. Mendadak semua perhatian tertuju pada Mas Adit. Bukan karena orangnya tapi lebih dikarenakan kardus yang ia bawa. Adik-adik yang penasaran dengan isi kardus tersebut langsung menghampiri Mas Adit. Aku sendiri yang tak kalah penasaran tetap duduk manis di pendapa tanpa sedetik pun mengalihkan pandangan mata ini dari kardus tersebut. Mencoba menerka-nerka isi di dalamnya.
Dekat, dekat, dan semakin dekat. Isi kardus pun mulai terlihat. Satu set angklung! Ya, angklung. Sebuah alat musik tradisional khas Jawa Barat yang sejak kecil sangat ingin aku mainkan dan kini ada di depanku. Ah, akhirnya…(batinku).
            Tak lama berselang kegiatan belajar mengajar pun dimulai. Aku malam itu mendapatkan tugas kehormatan. Menjaga angklung tersebut dari jangkauan anak-anak yang sudah tidak sabar ingin segera memainkannya. Sungguh ini bukan tugas yang mudah karena aku sendiri juga tak sabar ingin segera memainkannya. Ingin rasanya segera mengeluarkan angklung tersebut dari dalam kardus dan memainkannya.
            Berbeda dengan malam-malam sebelumnya, malam itu waktu seolah berjalan lebih lambat. Kegiatan belajar mengajar tak kunjung usai sedangkan tangan ini semakin gatal ingin segera mengeluarkan angklung tersebut dari dalam kardus.
            Dan…kegiatan belajar mengajar pun usai, saatnya bermain angklung! Aku yang sudah tidak sabar ingin memainkannya dengan berat hati harus memberikan kesempatan terlebih dahulu pada adik-adik.  Satu set angklung yang terdiri dari delapan buah ini kini sudah dipegang oleh delapan orang anak yang beruntung. Dengan dibantu oleh kakak-kakak vols mereka mencoba memainkan lagu Suwe Ora Jamu sebaik mungkin. Ada yang terlihat masih gagu dalam memainkan angklung namun ada pula yang nampak sudah terbiasa memainkannya.
            Memang belum terdengar lantunan melodi yang indah dari permainan mereka. Akan tetapi satu yang pasti. Terdengar melodi keceriaan dari setiap gemericik angklung yang mereka mainkan. Ah, lagi-lagi ujung bibir ini, kanan kiri naik 1 centimeter secara simetris dengan sendirinya.
            Setelah dirasa cukup, kini giliran kami kakak-kakak vols yang memamerkan keahliannya dalam memainkan angklung. Aku yang sudah dari tadi tidak sabar menunggu giliran turut berpartisipasi. Aku memegang angklung bernada fa. Dan usai sudah penantian panjangku., Rabu malam itu Ahmad Saifudin, 21 tahun lebih sekian bulan, pertama kali memainkan angklung. Haha, selamat selamat.
Meski malam itu pertama kali kami bermain bersama, namun hasilnya cukup bagus. Lagu suwe Ora Jamu dan Gundul-Gundul pacul yang kami mainkan cukup bisa dinikmati. Sepertinya kami cukup berbakat memainkan angklung. Ah, sungguh Rabu malam yang indah, penuh irama.


KAMIS, AKHIR YANG ROMANTIS
Lagi dan lagi. Gerimis romantis kembali mengiringi perjalanan suciku. Ah, sungguh awal dan akhir yang sama. Setting cerita malam itu semakin romantis dengan adanya oglangan alias listrik mati. Jadilah aku seperti pahlawan bertopeng dengan kuda hitamnya yang sedang bergegas menyelamatkan seorang gadis dari gangguan orang jahat. Aku menembus gelapnya jalanan di tengah rintik-rintik hujan dengan sepeda motorku menuju sumber keceriaan berikutnya. TC Mojosongo…aku datang!
            Setibanya di sana, listrik belum juga nyala meski hujan telah reda. Jadilah saat ini kami, kakak-kakak vols dan adik-adik seperti sekumpulan nyamuk yang berkumpul di kegelapan. Tak terlihat namun terdengar suaranya.
            Lantas, bagaimana dengan kegiatan belajar mengajar?
Jangan pernah kutuki kegelapan, nyalakan lilin harapan. Kurang lebih begitulah kata-kata yang sering didengungkan di Solo Mengajar. Membuat cahaya! Ya, itu yang kami lakukan. Bukan dengan lilin, kami tak punya. Bukan juga dengan lampu emergency, kami tak membawanya. Tapi kami punya ini…
Sepeda motor. Kami letakkan sepeda motor kami mengelilingi lapangan basket dengan sorot lampu menghadap ke tengah lapangan. Membuat tengah lapangan seketika menjadi panggung pertunjukan meski dengan cahaya yang temaram. Di antara sorot lampu itulah kami malam itu melakukan kegiatan belajar mengajar. Jadilah kami sekarang seperti sekawanan teroris yang sedang dikepung oleh satu pleton densus 88. Kami seolah menjadi pusat perhatian malam itu. Bercahaya di tengah gelapnya malam.
taman cerdas mojosongo solo mengajar
Kegiatan Belajar Mengajar saat Listrik Mati di TC Mojosongo
            Dinginnya udara tak mampu mengurangi kehangatan yang tercipta malam itu. Gelapnya malam bahkan tak sedikitpun mengurangi cerahnya senyum mereka malam itu. Semua tersenyum,  semua tertawa, semua bahagia. Sungguh malam yang romantis. Tak kalah romantis dengan pertemuan sepasang kekasih yang telah lama berpisah. Pertemuan ini, pertemuan antara guru dan murid yang saling merindu. Pertemuan yang terlalu sulit untuk dipisahkan oleh hujan dan gelap malam. Bagiku, itu sungguh romantis.

            Begitulah sekelumit cerita tentang perjalanan suciku. Ini bukanlah awal bukan pula akhir. Masih banyak cerita yang belum kubagikan, masih banyak cerita yang belum kualami. Cerita tentangku, tentang Solo Mengajar, tentang senyuman itu. Senyuman tulus mereka. Matahari kecil Indonesia. Sekali lagi, bahagia itu sungguh sederhana. Sesederhana ceritaku ini.