Malam ini adalah malam
terakhir Bulan April. Seperti tahun-tahun sebelumnya, stasiun televisi lokal
maupun nasional mulai ramai menyiarkan tentang perayaan Hari Buruh yang jatuh
pada esok hari, 1 Mei 2015. May day, begitulah nama kerennya. Hari di mana para
buruh “merayakan” status mereka sebagai seorang buruh. Hari di mana buruh dari
berbagai organisasi turun ke jalan dan menyuarakan aspirasi mereka. Yang sebenarnya
hampir selalu saja sama dari tahun ke tahun. Menuntut peningkatan taraf hidup! Baik
itu melalu kenaikan upah minimum hingga pemberian jaminan kesehatan. Selalu saja
sama, tak pernah jauh dari itu.
Sekali lagi, malam ini adalah malam terakhir Bulan April.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, malam ini kami masih mencoba meluruskan
punggung kami setelah seharian membungkuk di sawah, menanam padi. Sambil berdoa
pada Tuhan semoga kami diberi kesehatan hingga masa tanam ini usai. Ya, masa
tanam masih tersisa beberapa minggu, kami harap kami dapat mengais rizki selama
masa itu. Karena setelah ini kami segera memasuki masa libur sebelum kembali ke
sawah untuk melakukan tambal sulam terhadap padi yang kami tanam. Esok hari pun
demikian, 1 Mei 2015. Kami masih harus ke sawah dan membungkukkan badan kami
sambil berjalan mundur untuk menanam padi di sawah. Kami bukanlah petani, kami
ini hanyalah buruh tani.
Menanam Padi |
Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
Jika esok hari para buruh di Jakarta mendongakkan kepala mereka
sambil menyuarakan suara mereka yang tak jarang diiringi dengan makian, maka
apadaya kami yang hanya buruh tani. Kami hanya bisa membungkuk di hadapan tuan
tanah kami. Kami tak sedikitpun berani mengeluarkan makian saat membungkuk. Kami
sedang menanam padi, menanam kebaikan. Kami percaya kami hanya bisa memanen
padi yang baik jika dan hanya jika kami menanamnya dengan baik pula. Begitulah yang
diajarkan oleh nenek moyang kami secara turun temurun. Kami lebih banyak diam
selama membungkuk, sedikit bicara agar pekerjaan kami segera selesai. Siapa pula
yang suka membungkuk berlama-lama. Apalagi kebanyakan dari kami sudah berumur.
Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
Jika esok hari para buruh di Jakarta bisa dengan lantang
berteriak minta kenaikan upah minimum, maka kami hanya bisa berbisik kepada
sesama kami. Mengeluhkan upah kami yang sukar sekali naik, dari dulu
segitu-gitu saja. Sekali lagi kami hanya bisa berbisik kepada sesama kami,
mengeluhkan pengeluaran yang kini semakin tak menentu. BBM kini tak lagi disubsidi,
harga bahan pokok pun naik turun seenak jidat. Jika boleh meminta kepada
pemerintah, maka kami ingin minta satu hal, kepastian. Hidup kami sudah cukup
tidak pasti dengan jumlah uang yang masuk jangan tambah ketidakpastian kami
dengan jumlah uang yang keluar.
Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
Jika esok hari para buruh di Jakarta menenteng spanduk
minta jaminan kesehatan, maka kami hanya bisa menulis keinginan kami di atas
air sawah yang keruh. Kami ingin sebuah jaminan akan nasib sawah yang kami
sayangi. Kami memang tidak pernah memilikinya tapi pecayalah kami begitu
mencintainya. Tak terhitung lagi berapa lama waktu yang kami habiskan bersamanya.
Sawah bagi kami tak hanya sumber kehidupan tapi sudah seperti kekasih yang
selalu ingin kami kunjungi. Kekasih yang selalu kami kunjungi dengan
membungkuk.
Kami sedih, melihat sawah-sawah kini banyak yang beralih
fungsi menjadi bangunan tak bernyawa. Kami takut kami tak lagi bisa membungkuk.
Kami takut kini kami harus mendongak seraya berdoa, ya Tuhan kami apakah Engkau
hendak menutup pintu rizki kami? Sungguh, kami yakin bukanlah demikian. Kami yakin
Engkau hanya akan membukakan kami pintu rizki yang lain bagi kami. Meski kami
tidak tahu apa itu, tapi kami yakin. Pada akhirnya, kami hanyalah buruh tani.
Mayday, Mayday! Tolong Lihat Kami, Si Buruh Tani
Percayalah! Kami masih rela bangun di pagi hari dan bersaing
dengan suara kokok ayam. Kami masih rela mengayuh sepeda puluhan kilometer
menuju tempat kerja kami. Meski tak jarang dari kami yang sudah menggunakan
sepeda motor tapi tak sedikitpun dari kami yang iri. Kami masih rela membungkuk
dari pagi hingga siang sambil berjalan mundur kala musim tanam tiba. Kami masih
rela melakukan hal yang sama, membungkuk lagi kala sudah saatnya padi yang kami
tanam disulam. Kami masih rela membungkuk sekali lagi untuk mencabut
rumput-rumput liar di sekitar padi yang kami tanam. Kami masih rela membungkuk
untuk kesekian kalinya kala memotong padi yang sudah siap panem. Dan kami pun
masih rela membungkuk untuk musim tanam berikutnya, lagi-lagi demi sesuap nasi.
Mengangkut Hasil Panen |
0 comments:
Post a Comment